KONFLIK PAPUA: MASALAH SEJARAH INTEGRASI, PELANGGARAN HAM, KESEJAHTERAAN DAN GAGALNYA OTONOMI KHUSUS

/
0 Comments

ABSTRACT

There are four problems to this day why conflict in Papua is never ending and want to liberate themselves. First, the problem of history of Papua’s integration into Indonesia. Secondly, the issue of Human Rights violations in Papua. Third, the problem of not-partake Papuans in Papua’s development, making indigenous Papuans felt excluded. And last, because of the failure of the implementation of Special Autonomy Law issued by the Government as evidence that the Government cares about Papua.

Key words: Papua, The History of Integration, Special Autonomy, Human Rights abuses



PENDAHULUAN

Gerakan separatis di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai Negara yang bisa dibilang ‘muda’ dan pluralistis, gejolak antar daerah bisa mengancam keutuhan negara. Seperti kasus separatisme Aceh dan Papua. Selain akibat rezim Soeharto yang otoriter militeristik, yang membungkam setiap protes, adanya rasa iri daerah tersebut dengan daerah lain yang lebih maju dan lebih sejahtera kehidupan penduduknya.

Pada kasus Aceh, mereka ingin memerdekakan diri karena menganggap Pemerintah menganaktirikan mereka. Pemerintah hanya mengurus Pulau Jawa, sedangkan Aceh hanya dieksploitasi kekayaan alamnya untuk pemerintah pusat, dan tidak ada timbal balik dari pemerintah untuk membangun Aceh. Bukan hanya itu, ketika mereka menyuarakan ketidakadilan itu, mereka justru ditembaki, dianiaya, dan aksi pelanggaran HAM lainnya. Beruntung, setelah rezim Soeharto lengser dan diperbaikinya sistem pemerintahan melalui reformasi di semua bidang, Rakyat Aceh mampu berdialog dengan Pemerintah dan berhasil mecapai kesepakatan damai melalui Perjanjian Helsinki.

Berbeda dengan konflik Aceh, konflik di Papua hingga saat ini belum menemukan titik terang. Padahal Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus untuk Papua dan mengucurkan dana otonomi khusus tersebut sekian miliar. Namun, mengapa konflik di Papua hingga saat ini terus berlanjut dan semakin memanas?

Untuk itu, melalui tulisan ini penulis mencoba menggambarkan titik permasalahan konflik Papua yang selama ini disalahpahami oleh banyak pihak, termasuk pemerintah. Sejauh yang penulis tahu dan baca, pemerintah menganggap masalah konflik Papua hanyalah masalah kesejahteraan. Berbeda dengan pandangan rakyat Papua bahwa titik permasalahannya pada status politik dan integrasi Papua serta masalah pelanggaran HAM yang dilakukan Negara pada penduduk Papua. Tak hanya itu, penulis juga mengkaji kesalahan-kesalahan pemerintah dalam menghadapi konflik Papua.

Penulis berharap, dengan tulisan ini pemerintah mampu bertindak tegas menyelesaikan masalah satu demi satu. Meskipun tidak sampai ke akar permasalahan, setidaknya pemerintah mampu mengambil hati penduduk Papua untuk tetap menjadi bagian wilayah NKRI.


AKAR PERMASALAHAN KONFLIK PAPUA

Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) dalam bukunya: Papua Road Map yang penulis kutip melalui www.pdii.lipi.go.id telah menemukan empat akar masalah Papua, yakni status politik dan sejarah diintegrasikannya Papua ke Indonesia, pelanggaran Ham yang dilakukan Negara selama operasi militer (1965) hingga saat ini, marjinalisasi, dan kegagalan pembangunan Papua. Berikut penjelasan mengapa alasan-alasan tersebut menjadi akar masalah konflik Papua:

1. SEJARAH INTEGRASI PAPUA

Sejak Indonesia merdeka, Irian barat sudah menjadi sengketa Indonesia dengan Belanda. Ketika merdeka, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk Papua adalah wilayah NKRI. Namun, Belanda mengaku bahwa Papua masih dalam wilayah kekuasaannya dan bersikeras tidak akan menyerahkan Papua pada Indonesia.

Melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB), telah disepakati dimana salah satu isinya adalah tentang penyerahan kedaulatan atas seluruh wilayah jajahan Belanda pada Indonesia, kecuali Irian Barat (kabarinews.com). Namun, hal itu tak menyurutkan niat pemerintah Indonesia untuk mengembalikan Papua ke dalam wilayah RI. Sampai akhirnya diadakan perundingan antar keduanya yang menghasilkan New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962. Inti dari perjanjian itu adalah Belanda akan menyerahkan Papua ke UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Kemudian UNTEA akan menyerahkan Papua ke Indonesia selama 6-8 bulan lalu diadakan referendum, bahwa setiap orang dewasa, laki-laki maupun perempuan asli Papua, memiliki hak pilih atas referendum tersebut. Hal ini menentukan apakah Papua akan ikut dengan Indonesia atau lepas dan berdiri sendiri menjadi sebuah Negara.

Namun yang disayangkan oleh warga Papua yang kini menyuarakan ketidakadilan tentang hal itu, bahwa Act of Free Choice atau PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang diadakan pemerintah Indonesia dibawah pengawasan PBB tidak dilaksanankan sesuai aturan Internasional, melainkan dengan aturan Indonesia (Musyawarah). Dalam artikel yang ditulis John Anari, Amd. T yang bersumber dari tokoh sejarah Papua (oppb.webs.com) bahwa ada pelanggaran New York Agreement dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Di sana ditulis bahwa seharusnya jika menurut New York Agreement , PEPERA dilaksanakan dengan cara one man one vote. Tetapi berbeda dengan kenyataan bahwa pelaksanaan dilakukan dengan cara perwakilan (musyawarah).

Pemerintah melakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura tentang tatacara penyelenggaraan PEPERA pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian diputuskan membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1026 orang dari delapan kabupaten di Papua. Para anggota DMP dipilih langsung oleh pemerintah Indonesia tanpa pemilihan umum di tiap-tiap Kabupaten. Tak hanya itu, di sana juga ditulis bahwa ada intimidasi dan ancaman Pembunuhan oleh Pimpinan OPSUS (Badan Inteligen KOSTRAD) Mr. Ali Murtopo.

Fakta lain yang lebih mengejutkan, John Anari menulis bahwa anggota DMP tersebut dikarantina di suatu tempat khusus dan dijaga ketat oleh Militer sehingga mereka tidak bisa berkomunikasi atau dipengaruhi pihak lain. Mereka diberi pengarahan agar secara aklamasi mereka semua memilih bergabung dengan Indonesia. Untuk lebih lengkapnya, silakan baca di oppb.webs.com

Inilah yang membuat Papua ingin PEPERA 1969 kembali diadakan. Mereka merasa suara hati mereka belum diutarakan. Yang memenangkan suara itu bukanlah suara hati rakyat Papua, melainkan suara ancaman militer Indonesia. Namun, menurut Jubir Kementrian Luar Negeri RI, Michael Tene, PEPERA 1969 tidak bisa digugat, bahkan melalui Mahkamah Internasional. Ia mengatakan, Mahkamah Internasional hanya mengurus sengketa antar dua Negara. Meskipun ada Negara lain yang diberi mandat untuk mewakili organisasi OPM maupun ILWP untuk melawan RI, perkara tersebut telah disahkan oleh PBB. (centraldemokrasi.com)

Tak sedikit pengamat politik dan hukum yang mengatakan bahwa inilah akar permasalahan separatisme di Papua. Cara integrasi Papua ke Indonesia sudah salah. Mengandalkan kekuatan militer untuk menekan penduduk Papua agar mau bergabung dengan Indonesia. Memang sulit untuk mengatasi masalah ini, terutama karena Papua kini telah sah menjadi wilayah NKRI. Jika membiarkan dan menuruti keinginan rakyat Papua untuk merdeka, sama saja meruntuhkan keutuhan NKRI sendiri. Kini, yang harus dilakukan pemerintah untuk meredam masalah ini, melakukan pendekatan secara intensif, baik dalam hal perbaikan ekonomi, sosial dan pembangunan di Papua.


2. SIKAP REPRESIF PEMERINTAH TERHADAP RAKYAT PAPUA

Sejak PEPERA 1969 yang menggunakan kekuatan militer dan penuh tekanan-tekanan terhadap rakyat Papua, banyak sekali tindakan represif yang dilakukan Pemerintah Indonesia pada masa itu. Militer menyapu bersih orang-orang yang protes atas pelaksanaan PEPERA 1969 yang membungkam aspirasi orang-orang Papua. Menembaki, menculik, dan membunuh, khas rezim Soeharto.

Tak berhenti sampai situ, bahkan hingga sekarang rakyat Papua masih merasa trauma dengan adanya militer di tanah mereka. Dengan semakin banyaknya militer di tanah mereka, mereka semakin diingatkan pada masa PEPERA dilaksanakan. Mereka terlalu sakit hati terhadap militer Indonesia. Lebih lagi setelah terbunuhnya Ketua Presidium Dewan Papua, Dortheys Hiyo Eluay. Beliau pemuka rakyat Papua yang diculik dan dibunuh akibat menyuarakan ketidakadilan di Papua. Ironisnya lagi, pembunuh Dortheys diberi gelar pahlawan bangsa (centraldemokrasi.com).

Dari data yang penulis peroleh dari artikel Vincentsius Lokobal, sekjend Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, banyak sekali pelanggaran HAM yang dilakukan militer di era Otsus, sekitar tahun 2006-2008, dengan berbagai modus. Berikut uraiannya:
  1. Pembunuhan dan penculikan Bpk. Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka.
  2. Peristiwa Wasior Berdarah 13 Juni 2001. Pada peristiw ini aparat keamanan dari Brimob Kepolisian Daerah Papua telah melakukan penyisiran terhadap warga sipil sehingga banyak yang kehilangan nyawa, keluarga dan tempat tinggalnya.
  3. Berimbas dari pembobolan Gudang Senjata di Kodim 1702 Jayawijaya 4 April 2003 maka aparat keamanan melakukan penyisiran disejumlah kampung di Wamena sampai di kampung Kuyawage. Akibatnya banyak masyarakat menjadi korban.
  4. Peristiwa penyisiran dan operasi Puncak Jaya berdarah pada tahun 2004. Masyarakat meninggal karena ditembak, ada juga meninggal ditempat pengungsian. Banyak masyarakat kehilangan keluarga dan tempat tinggal mereka.
  5. Abepura berdarah 10 Mei 2005, saat masa melakukan aksi untuk dibebaskannya Yusak Pakage dan Philip Karma di depan Pengadilan Negeri Abepura. Sebagai tanggapan atas aksi tersebut, aparat Kepolisian secara paksa membubarkan masa sehingga banyak menjadi korban. Beberapa demonstran disuntik (diduga beracun) pada bagian kepala. Akibatnya sampai saat ini ada yang sarafnya terganggu.
  6. Timika berdarah atas INRES No. 01 thn 2003, tentang Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah membuat masyarakat pro dan kontra (devide et Impera) menewaskan 6 korban warga sipil.
  7. Peristiwa pemukulan oleh Aparat kepolisian Resort Jayawijaya terhadap Obet Kossay di Kampung Wesaput-distrik Wamena Kota pada pertengahan Januari 2006. Korban dipukul di dalam kamarnya setelah pintu di kunci.
  8. Peristiwa penembakan terhadap Moses Douw (meninggal dunia) dan beberapa warga sipil menjadi korban di Wahgete pertengahan Januari 2006.
  9. Penembakan oleh Aparat Kepolisian Resort Mimika terhadap, Yulianus Murip (kena tembakan peluruh pada bagian kepalah), Yohanes Wakerwa (kena tembakan persis dibagian perut) Melianus Murip dan Yohanes Tipagau. Pelurh yang keluarkan 150 buah.
  10. Penangkapan kerja sama antara Aparat keamanan dengan FBI terhadap 12 warga sipil di di Timika pada awal Januari 2006.
  11. Meningalnya Sodema Huby dan Paulus Mokarineak Kosay dan beberapa warga kena luka tembak oleh Aparat Brimob dan Kepolisian Resort Jayawijaya di kediaman mantan Bupati Jayawijaya pada 13-14 Mei 2006.
  12. Meninggalnya Yesaya Hisage karena ditembak oleh Aparat Brimob Kepolisian Daerah Papua pada 18 Maret 2007. Dan penyisiran pasca Abepura Berdarah 16 Maret 2006 dimana Asrama Mahasiswa (Asrama Nayak, Ninming, Nabire, Kerit, asrama mahasiswa Tolikara, Puncak Jaya, Timika, Yahukimo, asrama mahasiswa Universitas Cendrawasih) di hancurkan dan satu perumahan di bakar. Penyisiran difokuskan terhadap Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua sehingga banyak mahasiswa yang lari ke hutan dan tinggalkan asrama/kampus.
  13. Meninggalnya Hardi Sugumol (narapinada kasus mile 62 Timika) di dalam tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada 1 Desember 2006.
  14. Penyisiran dan pembunuhan di Puncak Jaya pasca penembakan anggota Kopasus dan Purnawirawan TNI pada Desember 2006.
  15. Kamis Malam, tanggal 14 Mei beberapa anggota Koramil Kurima menyiksa seorang pemuda; rendam dalam got, ikat kaki dan tangan lapis dengan tiang bendera, membakar dengan lilin pada lida dan kemaluan, jepit dengan tang di jari kaki dan biji kemaluan. Korban di rawat secara itensif di rumah sakit.
  16. Pada hari Kamis 18 July, 300 lebih masyarakat adat dari Kampung Tablasupa, Yaru, Sebron, keracunan makanan yang disiapkan oleh petugas.
  17. 20 July 2007, aparat kepolisian membawa 3 pemuda yang sedang minum-minuman beralkohol dari rumah mereka. Sesampai di polsek mereka melakukan penyiksaan yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 2 lainnya dirawat secara itensif di rumah sakit.
  18. Pada 2 Agustus 2007, penembakan oleh TNI Angkatan Laut terhadap Wemi Gombo. Korban luka kritis pada lengan kiri dan di rawat di RSUD Dok II, Jayapura.
  19. Pada 3 Augutus 2007, Soleman Wandikbo disiksa oleh anggota Polres Jayawijaya sampai meninggal di ruang sel Polres Jayawijaya.
  20. Penembakan terhadap Opinus Tabuni oleh Aparat Keamanan pada 9 Agustus 2008, di Lapangan Sinapup Wamena.
Dari data tersebut, belum termasuk kekerasan terhadap aparat yang dilakukan masyarakat Papua, menunjukkan bahwa sebenarnya pendekatan militer adalah kebijakan yang tidak tepat. Kekerasan yang dibalas kekerasan, membuat gerakan separatisme semakin brutal. Jika dalam rentang waktu tahun 2006-2008 saja sekian puluh rakyat Papua menjadi korban, maka sudah berapa banyak orang yang dikorbankan selama konflik Papua?


3. MARJINALISASI

Sudah sakit karena merasa ditipu dan ditekan pemerintah Indonesia, ditambah aksi kekerasan yang dialami rakyat Papua, diperparah lagi dengan marjinalisasi rakyat Papua di tanah mereka sendiri. Hal ini tentu saja membuat rakyat Papua merasa tersingkir. Terutama setelah dilakukannya Transmigrasi besar-besaran dari Jawa ke Papua pada masa rezim Soeharto. Muncul stigma bahwa pemerintah Indonesia mencoba memusnahkan ras Melanesia dari Papua dan diganti dengan orang-orang Jawa.

Ambil saja contoh unjuk rasa yang dilakukan ribuan karyawan PT Freeport yang semuanya merupakan penduduk asli Papua. Mereka menuntut ketidakadilan upah yang mereka terima dibandingkan upah karyawan lain yang berasal dari luar Papua (fajar.co.id). Papua memang terbelakang dalam kesejahteraan. Pendidikan, kesehatan, bisa dikatakan buruk. Secara logika, tidak ada perusahaan yang mau menerima kondisi karyawan yang seperti itu. Disitulah Papua terdiskriminasi oleh struktur.

Pengambilan setiap kebijakan Pemerintah terhadap Papua juga dianggap tidak pernah melibatkan penduduk asli Papua. Sebagai contoh, dikeluarkannya UU (Undang-undang) No 45/99 tentang pemekaran Irian Jaya (Sekarang Papua) menjadi Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Mimika dan Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kebijakan ini diikuti dengan penunjukan Dokter Herman Monim sebagai Gubernur Irian Jaya Tengah dan Brigjen.Mar. (Pensiunan TNI) Abraham Atuturi sebagai Gubernur Irian Jaya Barat berdasarkan Keputusan Presiden RI No 327/M/1999, tanggal 5 Oktober 1999. Kebijakan ini ditolak rakyat Papua karena mereka merasa tak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut (library.fes.de).

Telatnya pembangunan segala bidang di Papua, membuat Papua terlihat primitif, terbelakang dan bodoh. Walau begitu, tidak seharusnya kita selalu mendoktrin semua penduduk Papua seperti itu. Perlu pendekatan dan motivasi-motivasi agar mereka mau bergerak bersama Pemerintah agar pembangunan berjalan segera dan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan motivasi dan dorongan untuk ikut membangun Papua bersama pemerintah, rakyat Papua bisa tergugah hatinya dan tidak terus-terusan menjadi oposisi pemerintah.

Pemerintah juga perlu menyadari bahwa Indonesia adalah pluralisik. Tidak semua kebudayaan memiliki kesamaan antara satu tempat dengan tempat lainnya. Papua terbiasa dengan segala keputusan yang diambil pemimpin dibicarakan masak-masak bersama anggotanya. Jangan keras kepala dibalas keras kepala. Hal itu justru membuat Papua yakin akan keinginannya untuk merdeka dan berdiri sendiri.


4. IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS PAPUA

Menanggapi berbagai tuntutan rakyat Papua, akhirnya pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dikeluarkanlah UU No.21 Tahun 2001, yang diharapkan mampu menjawab sedikit demi sedikit permasalahan di Papua. Undang-undang tersebut mengenai Otonomi Khusus bagi Papua sebagai kebijakan nasional. Otonomi Khusus identik dengan penyerahan semua kewenangan pemerintah pusat terhadap rakyat Papua, keuali 5 bidang pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintahan Pusat (Pasal 4 ayat (1), UU No.21 Tahun 2001).

Menurut Yusuf Tri Anggoro dalam blognya par-excelence.blogspot.com, secara garis besar, terdapat 4 hal mendasar yang diatur dalam UU No.21 tahun 2001 tersebut, yaitu:


Pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan.
Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar.
Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan bercirikan:
  1. Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama dan kaum perempuan.
  2. Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya.
  3. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
  4. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Melihat bagusnya maksud pemerintah untuk memperbaiki kehidupan di Papua, ternyata tidak dibarengi dengan implementasi yang memuaskan. Dari hasil analisis sekaligus pengumpulan data tentang bagaimana implementasi UU No.21 Tahun 2001 yang dilakukan oleh Vincentsius Lokobal, menunjukkan fakta-fakta bahwa banyak pelanggaran yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah dalam mengimplementasikan UU tersebut. Berikut data dari Lokobal:

PEMERINTAH PUSAT
  1. Tertundahnya pembentukan Lembaga Majelis Rakyat Papua ( MRP ), sebagaiman diamanatkan oleh UU Otsus selambat – selambatnya 6 ( enam ) bulan UU Otsus ditetapkan, sementara PP No. 54 tentang Pembentukan MRP baru dikeluarkan 23 Desember 2004. 
  2. Inpres No. 1/Tahun 2003 ( tanggal : 27 Januari 2003 ) ditetapkan dan terbitkan oleh Presiden sebagai perintah untuk menghidupkan Provinsi Irian Jaya Barat, walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU No.21 Tahun 2001, dengan tujuan untuk mengobrak – abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental dalam hati rakyat Papua. 
  3. Pemerintah Pusat lalai dan gagal melaksanakan keputusan Mahkama Konstitusi ( MK ) tahun 2003, yang mewajibkan diterbitkannya undang – undang tentang pemekaran tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat ( sekarang Papua Barat ), yang paksakan pembentukannya oleh Pemerintah Pusat.
  4. Penetapan Undang – undang No 35 Tahun 2008, dalam rangka mengakomodir Provinsi Papua Barat dalam UU No.21 Tahuin 2001, sebagai Provinsi dalam Otsus dengan cara mencoret dan menambahkan. Cara mengakomodir dengan moncoret dan menambah tersebut melanggar UU No.21 Tahun 2001 kepada rakyat Asli Papua. MRP sudah mengingatkan Wapres Jusup Kalla dan timnya tetapi nyatanya tidak diindahkan.
  5. Diberlakukan dualisme hukum antara Provinsi dan Kab/Kota di daerah Otonomi khusus di Tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sedangkan Kab/Kota melaksanakan UU No.32 Tahun 2004.
  6. Tidak menerbitkan segera beberapa Peraturan Pemerintah ( PP ) yang amanatkan didalam UU No.21 Tahun 2001, sebagai pelaksanaan UU Otsus bagi Provinsi Papua.
  7. Pencairan DANA OTSUS tiap tahun anggaran hamper selalu sebagian besar dana pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dimanfaatkan secara efektif untuk menolong dan menyelamtkan orang asli Papua, selain dibagi – bagi dengan laporan keuangan fiktif.
  8. Tidak ada realisasi atas pembagian hasil SDA Papua untuk Papua dan Jakarta sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UU No.21 tahun 2001.
  9. Penetapan PP No.77 tahun 2007 tentang larangan Bendera separatis dijadikan sebagai bendera cultural. Ini bertentangan dengan amanat UU No.21 Tahun 2001, khususnya Pasal 2 ayat (2).
  10. Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan Barisan Merah Putih di Tanah Papua dan kegiatannya, sehingga lembaga Negara di daerah seperti DPRP dan MRP keberadaan dan kegiatannya terganggu serta kebijakannya dikontrol dan dikaunter oleh masyarakat, bukan oleh lembaga Negara yang Lebih tinggi.
  11. Penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi Otonomi Khusus Papua versus penerimaan usul Barisan Merah Putih atas 11 kursi Otsus yang sama oleh Mahkama Konstitusi ( MK ) dengan mengkerdilkan lembaga MRP dan DPRP dalam materi gugatannya. Hal ini menunjukan sikap Pemerintah Pusat terhadap lembaga didaerah tidak diperhatikan dari pada organisasi ( milisi ) yang dibentuknya.
  12. Politisasi SK.14/MRP/2009 sehingga SK yang bertolak dari amanat UU No.21 Tahun 2001 menjadi bola liar yang panas di permainkan oleh siapa saja dari pusat dengan daerah. Sampai sekarang SK 14/MRP/2009 ditanggapi Pemerintah Pusat penuh curiga dan pemerintah daerah tidak sepenuh hati. Karena itu nasib SK 14/MRP/2009 sampai saat ini nampaknya terancam tidak digunakan dalam pemilukada Kab/Kota di Tanah Papua.
  13. Dalam implementasi UU Otsus Papua, Pemerintah Pusat lalai melakukan fungsi supervise ( Bimbingan ) dan Intermediasi ( koordinasi antar institute ) bagi Pemerintah Provinsi Papua dalam pelaksanaan UU Otsus Papua.
  14. Pengangkatan Kapolda dan Kajati setelah diberlakukan UU Otsus Papua, Pemerintah pusat tidak pernah memintah persetujuan dari Gubernur Papua, berdasarkan amanat UU Otsus Papua Pasal 48 ayat (5), Pasal 52 ayat (2).
  15. Pemerintah Pusat Gagal melakukan perubahan terhadap UU Otsus Papua, dengan mengeluarkan UU No.35 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU Otsus Papua, tanpa meminta persetujuan oleh seluruh rakyat Papua melalui DPRP dan MRP.
  16. Pemerintah Pusat mendorong dan menetapkan terbentuknya pemekaran daerah Otonom Baru Provinsi dan Kab/Kota di Tanah Papua yang semestinya dilakukan melalui persetujuan MRP dan DPRP, berdasarkan amanat UU Otsus pada Pasal 76.
  17. Bidang Keuangan pemerintah Pusat tidak pernah transparan dalam hal pembagian pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam, sesuai amanat UU Otsus Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3).
  18. Sepuluh tahun di berlakukan UU Otsus di Tanah Papua, Pemerintah Pusat dan Daerah tidak pernah melakukan evaluasi, sesuai amanat UU Otsus pada Pasal 78.
  19. Implementasi penerapan UU Otsus ini tidak dikawal oleh Presiden maupun oleh Menteri.
  20. Segala bentuk kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, tak pernah melibatkan rakyat Papua.
  21. Pemerintah pusat tak pernah sosialisasi UU Otsus Papua pada tingkat internl Departemen Pusat maupun Daerah.
  22. Pemerintah Pusat tak pernah membuat norma – norma pengelolaan anggaran.

PEMERINTAH DAERAH (PROPINSI)
  1. Pemerintah Provinsi dan DPRP tidak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus selama 7 Tahun Pelaksanaan Otsus Papua, kecuali Perdasi pembagian Dana Otsus, Pembentukan MRP dan Sekretariat MRP dan Perdasus pembagian dana Dana Otsus ( yang tidak berfungsi sejak ditetapkan oleh DPRP ). Baru tahun 7 pelaksanaan Otsus ditetapkan 8 Perdasus pada September, Oktober, dan November tahun 2008 dan sejumlah Perdasi namun semua perdasi dan perdasus tersebut belum dipergunakan dalam pengelolaan pemerintahan dan pembagunan, sesuai amanat Otsus pada Pasal 75.
  2. Tidak terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) dan pengadilan HAM di Tanah Papua sesuai amanat UU No. 21 Tahun 2001 Pasal 45 dan 46 pemerintah belum menyentuhnya.
  3. Belum ditetapkan kebijakan khusus dalam rangka melaksanakan kewenangan khusud untuk kepebrpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua, sebagaiman yang diamanatkan dalam pasal 4 ( ayat 2 ), UU No. 21 Tahun 2001.
  4. Pemerintah Provinsi lalai membentuk Komisi hukum Ad Hock, yang bertugas melakukan sinkronisasi semua peraturan perundangan harus menyesuaikan dengan UU Otsus, sesuai pasal 32 ayat (1) dan ( 2).
  5. Pemerintah Provinsi lalai membentuk partai politik Lokal, sesuai pasal 28 UU Otsus Papua.
  6. Pemerintah daerah lalai membentuk perdasus tentang lambing dan symbol – symbol cultural, pada pasal 2 UU Otsus.
  7. Perubahan nomenkaltur DPRD menjadi DPRP sesuai amanat UU Otsus, abru terjadi pada tanggal 22 Juni 2005 yang diputuskan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Papua No.08/2005, berdasarkan persetujuan Mendagri berdasarkan surat edaran Mendagri No. 161.81/1034/SG, tanggal 3 Mei 2005.
  8. Pemerintah Provinsi gagal membentuk Peradilan Adat di Papua, Pasal 50 ayat (2).
  9. Pembentukan Majelis Rakyat Papua, baru dapat dilakukan berdasarkan keputusan DPRP, melalui perdasi No.4 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP, yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juli 2005.
  10. Pemerintah Provinsi gagal membentuk perdasi tentang Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua, sesuai pasal 61, ayat (1) UU Otsus Papua. Malahan, Pemerintah Provinsi Papua Barat melakukan kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait penempatan transmigrasi ( Rabu, 10 Februari 2010 vivanews).
  11. Pemerintah Provinsi lalai membina, melindungi hak – hak masyarakat Papua secara bermartabat sebagai mitra Pemerintah, sesuai Pasal 47.
  12. Pemerintah provinsi Papua gagal bahkan tidak melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi UU Otsus Papua selama kurang lebih 10 tahun ini.
  13. Rekruitmen calon Pengawai Negeri Sipil di Provinsi dan Kab/Kota belum di prioritaskan terhadap orang Asli Papua, sebagaiman diamanatkan dalm Pasal 62, UU Otsus Papua, tetapi semakin dibanjiri dan penuhi oleh orang – orang non Papua yang tidak jelas latar belakang hidupnya. Orang Papua sendiri tersingkir diatas kampong dan tanah warisan leluhurnya sendiri.
  14. Pemerintah Provinsi gagal dan lalai melakukan perlindungan terhadap pelaku bisnis orang Asli Papua sesuai mandate Otsus Papua.
  15. Pemerintah Provinsi tidak melakukan Restrukturisasi, Refungsionalisasi, dan Revitalisasi sesuai UU Otsus Papua.
  16. Pemerintah Provinsi melakukan manajemen Pemerintahan yang tidak optimal dalam ( Kepemimpinan, Perencanaan, Implementasi )
Melihat kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah (baik pusat maupun daerah) gagal dalam melaksanakan UU No. 21 Tahun 2001. Pelaksanaannya dalam 10 tahun ini dianggap tidak mampu mengubah kehidupan Papua secara berarti. Dana Otsus yang selama ini dikucurkan bermilyar-milyar hanya sebagai substansi Otsus, bukan dipakai sebagaimana sudah diatur selanjutnya di perdasus dan perdasi. Untuk itu perlu ada gerakan bersama antara pemerintah pusat dengan daerah beserta rakyat Papua agar Otonomi Khusus tersebut berjalan sukses.



PENUTUP

Dari penjelasan tentang apa yang membuat gerakan separatisme di Papua awet dan semakin brutal, dapat diambil kesimpulan bahwa yang mendasari konflik papua belum berakhir ada empat, yakni:
  • Masalah sejarah integrasi politik Papua ke Indonesia.
  • Bahwa sejarah Integrasi Papua ke Indonesia dilakukan tidak secara sukarela penduduk asli Papua, melainkan dari tekanan pihak militer Indonesia yang memaksa orang-orang Papua yang tergabung dalam Dewan Musyawarah PEPERA untuk memilih bergabung ke dalam wilayah NKRI.
  • Masalah pelanggaran HAM yang dilakukan Negara selama konflik Papua berlangsung.
  • Masalah marjinalisasi, akibat terbelakangnya segala aspek kehidupan rakyat asli Papua dibandingkan rakyat luar Papua membuat rakyat Papua merasa tersisih
  • Masalah gagalnya implementasi UU OTSUS Papua. Bahwa pemerintah pusat maupun daerah tidak bersungguh-sungguh menyejahterakan kehidupan rakyat Papua.
Untuk menindaklanjuti konflik Papua yang belum menemukan titik terang penyelesaiannya, perlu diadakan dialog Jakarta-Papua. Pemerintah harus berdialog langsung dengan rakyat Papua dan menanyakan alternative apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengambil hati rakyat Papua. Dengan catatan, keputusan atau keinginan itu tidak merugikan Negara ataupun mengancam keutuhan wilayah NKRI.



DAFTAR PUSTAKA


You may also like

Tidak ada komentar: