Sistem sosial merupakan keseluruhan struktur sosial yang saling berhubungan satu sama lain melalui proses sosial. Sistem sosial Indonesia memberi gambaran tentang realita kehidupan sosial di Indonesia, tentang bagaimana struktur sosial masyarakat Indonesia dan bagaimana proses sosial yang terjadi di dalamnya. Oleh karena itu sistem sosial Indonesia menjadi penting untuk dipelajari guna memahami gejolak perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Sedangkan sistem politik berkaitan dengan pengalokasian sumber daya dan penggunaan kekuasaan. Menurut Robert A. Dahl, sistem politik adalah sebuah pola terus-menerus dari hubungan masyarakat sampai pada batas yang signifikan, yang berhubungan dengan kontrol, pengaruh, kekuasaan atau otoritas. Sistem sosial lebih umum daripada sistem politik. Sistem sosial tidak hanya menyangkut tentang politik, tetapi juga ekonomi, budaya, agama, dan lain-lain. Sedangkan sistem politik merupakan salah satu bidang yang di dalamnya terdapat proses sosial yang dipelajari dalam sistem sosial. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem politik merupakan bagian atau sub sistem dari sistem sosial. Dan tentu saja keduanya berhubungan.

Hubungan antara sistem sosial dengan sistem politik dapat digambarkan dalam uraian berikut. Dalam masyarakat pasti hadir suatu konflik. Entah itu terkait kondisi ekonomi ataupun yang berkaitan dengan SARA. Dalam hal ini, sistem sosial mencoba menganalisis bagaimana konflik tersebut; mulai dari akar permasalahannya hingga solusi yang bisa diberikan. Dari situ, sebagai pengintegrasi masyarakat, pemerintah (dalam hal ini sistem politik) mengikat kembali masyarakat melalui kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan yang dikeluarkannya sebagai tanggapan dari konflik tersebut. Tentunya melihat analisis-analisis sistem sosial. Tanpa pengetahuan sistem sosial, bisa jadi keputusan politik yang diambil justru memicu konflik membesar. Contohnya saja dulu ketika GAM (rakyat Aceh) berperang melawan TNI (Pemerintah pusat). Karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang sistem sosial Indonesia, pemerintah (yang pada saat itu dipimpin oleh Soeharto) mengambil kebijakan yang salah yaitu dengan melakukan operasi militer. Pada kenyataannya pendekatan militer hanya memperburuk keadaan dan mempersulit terjadinya damai. Untuk itu perlu adanya pemahaman yang seimbang antara sistem sosial dengan sistem politik.


Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan sistem sosial dengan sistem politik adalah sistem sosial menjadi kacamata bagi sistem politik. Sistem sosial mempelajari masyarakat Indonesia yang menjadi subjek dari output politik. Dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan, perlu melihat keadaan sosial masyarakat. Gejolak-gejolak serta perubahan yang terjadi dalam masyarakat bisa jadi untuk masukan bagi sistem politik itu sendiri.


Konflik merupakan gejala sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat, mutlak adanya, tidak dapat dihilangkan namun dapat diredusir kekuatannya. Setiap konflik memiliki pola-polanya sendiri. Hal ini dikarenakan setiap konflik memiliki penyebab yang berbeda satu sama lain. Dan untuk meredusir konflik ataupun menghindarinya diperlukan pemahaman terhadap penyebab-penyebab konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Dr. Nasikun dalam bukunya yang berjudul “Sistem Sosial Indonesia” berkeinginan untuk mengungkap dan memahami faktor-faktor timbulnya konflik sosial dalam masyarakat. Beliau menitikberatkan penelitiannya pada masalah konflik dan integrasi, mengingat Indonesia merupakan Negara yang besar dan plural. Dengan kepluralannya, Indonesia menjadi salah satu Negara yang rentan akan konflik dan masalah integrasi.

Dalam mengupas faktor-faktor timbulnya konflik, penulis memilih dua pendekatan yang dianggap mampu menjelaskan bagaimana dan mengapa konflik dan integrasi dapat terjadi. Bagaimana awalnya integrasi dapat terwujud, bagaimana pada akhirnya masyarakat yang tidak mampu berintegrasi dengan baik menjadi munculnya sebuah konflik. Dua pendekatan itu adalah pendekatan fungsional struktural atau fungsionalisme-struktural dan pendekatan konflik. Pendekatan fungsional struktural menjelaskan bahwa integrasi muncul karena adanya kesepakatan bersama suatu masyarakat tentang nilai-nilai yang ada dan mampu mengatasi perbedaan satu sama lain diantara anggota masyarakat. Pendekatan ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang utuh, tidak merupakan bagian-bagian yang terhubung satu sama lain. Sekalipun penyimpangan sosial terjadi, dalam jangka panjang hal tersebut teratasi dengan sendiri. Pendekatan ini juga menganggap perubahan sosial terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian. Namun, apa yang dikemukakan oleh pendekatan fungsionalisme struktural tidak sepenuhnya benar. Hal ini bertolak pada kenyataan bahwa setiap struktur sosial pasti terjadi konflik-konflik internal dan tidak selalu perubahan terjadi secara gradual, melainkan revolusioner. Pendekatan ini, dikatakan penulis, mengabaikan 4 kenyataan yang bertentangan dengan anggapan mereka. Sehingga dari kelemahan itulah muncul pendekatan konflik yang melengkapi kekurangan pendekatan fungsionalisme struktural.


Pendekatan konflik lebih terbuka dalam mengungkap masalah perubahan sosial yang terjadi karena faktor internal dalam masyarakat itu sendiri. Berbanding terbalik dengan apa yang diungkapkan pendekatan fungsionalisme struktural, pendekatan konflik menyatakan bahwa proses perubahan tidak pernah berakhir, dan selalu ada konflik dalam tubuh masyarakat itu. Konflik intern terjadi karena pembagian wewenang yang tidak merata dalam masyarakat, menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan. Pendekatan ini juga berpendapat bahwa konflik tidak dapat dihilangkan melainkan dikendalikan. Bentuk pengendalian yang paling penting adalah konsiliasi, diikuti mediasi dan arbritasi sebagai tahap berikutnya jika konsiliasi tidak berhasil dilaksanakan. Pengendalian-pengendalian konflik sosial tersebut diharapkan mampu mengurangi sekaligus menghindarkan dari kemungkinan-kemugkinan timbulnya ledakan sosial, seperti kekerasan.

Pendekatan-pendekatan itulah yang kemudian dipakai penulis secara bersamaan untuk dapat melengkapi satu sama lain untuk mengungkap faktor-faktor konflik sosial di Indonesia. Seperti yang diketahui, Indonesia adalah Negara yang plural; beragam budaya, bahasa, agama, dan adat. Oleh karena itu masyarakat Indonesia bisa disebut juga masyarakat majemuk. Ada beberapa pendapat dari beberapa tokoh tentang arti masyarakat majemuk yang diangkat oleh penulis. Kemajemukan, kata penulis, terjadi karena beberapa faktor. Ada dua dimensi struktur sosial Indonesia, dimensi horizontal dan vertical. Dilihat dari dimensi horizontal secara garis besar, kemajemukan terjadi karena faktor geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau mengakibatkan beragam suku bangsa, faktor letak Indonesia yang berada di jalur perdagangan dunia mengakibatkan keberagaman agama, serta faktor iklim dan keadaan tanah yang berbeda menyebabkan keragaman regional Indonesia. Dari dimensi vertikal, kemajemukan terjadi antara masyarakat kota dan desa. Masyarakat kota cenderung modern dan praktis yang berkebalikan dengan masyarakat desa yang tradisional. Di buku dijelaskan kemajemukan yang paling mencolok terjadi di bidang ekonomi. Kemajemukan- kemajemukan tersebut mengindikasikan terjadinya konflik internal dikarenakan perbedaan kepentingan dari struktur sosial tersebut.


Merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, Kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, Kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan desa. Berbeda dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayahnya lebih terbatas. Dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan (Wikipedia).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 73 Tahun 2005 tentang Pemerintah Kelurahan yang merupakan dasar dalam menuju masyarakat yang berkembang yaitu kelurahan tidak lagi menjadi level administrasi, tidak lagi menjadi bawahan daerah tetapi menjadi masyarakat yang mandiri. Sehingga setiap masyarakat yang berada pada lingkungan kelurahan berhak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat sesuai dengan kepentingannya sendiri. Disini harus dipahami bahwa kelurahan merupakan suatu kesatuan hukum yang memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan melayani semua kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya menuju kesejahteraan.

Kelurahan Doromukti adalah salah satu Kelurahan di Kecamatan Tuban. Terletak 1,5 km dari Kecamatan Tuban sendiri dan 2 km dari pusat Kebupaten Tuban. Kelurahan Doromukti sendiri berawal dari sebuah desa yang bernama Desa Doromukti. Desa Doromukti berubah menjadi Kelurahan Doromukti ketika terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan.

Untuk memahami bagaimana penerapan sistem administrasi Negara secara nyata, maka Program Studi S1 Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya mengadakan Perkuliahan Luar Kelas (PLK). PLK dilakukan untuk mengamati, memahami, menganalisis sistem administrasi Negara yang ada di Kelurahan/desa tersebut (apakah sudah sesuai dengan apa yang telah dipelajari) dan menjadi sebuah pengalaman untuk masa depan.


Untuk membaca lebih lanjut, silakan unduh dibawah ini:
Unduh Di Sini

Corporate Social Responsibility (dalam bahasa Indonesia diartikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) merupakan suatu konsep bahwa organisasi khususnya perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan (keuntungan) melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Program CSR perusahaan biasanya dengan memberikan beasiswa-beasiswa, membantu pembangunan bidang sosial (misalnya pembangunan gedung sekolah), atau ikut dalam menjaga lingkungan sekitar (misalnya program Indonesia Hijau), dan lain-lain. CSR dipercaya bisa memberikan profit jangka panjang bagi perusahaan. Terutama dengan adanya kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan tersebut, sehingga masyarakat diharapkan ‘loyal’ terhadap apa yang menjadi produk perusahaan tersebut.


CSR muncul karena adanya tuntutan globalisasi akibat munculnya ‘Pasar Bebas’. Pasar bebas sendiri merupakan proses globalisasi perekonomian dunia dimana produk luar negeri masuk ke dalam negeri dan bersaing dengan produk lokal. Dengan derasnya produk dan investor-investor asing yang masuk, membuat pemerintah membuat peraturan tentang pertanggungjawaban sosial perusahaan agar perusahan tersebut tak hanya memikirkan keuntungan semata tetapi juga kontribusi yang diberikan pada masyarakat sekitar. Kesadaran pada reputasi perusahaan juga memicu CSR menjadi suatu hal yang penting. Pencemaran lingkungan, masalah HAM, ketenagakerjaan, lingkungan pendidikan, menjadi hal yang sangat diperhatikan investor asing dalam kelangsungan perusahaannya di negri orang.

Mengetahui itu semua, dapat dikatakan keterkaitan globalisasi dengan CSR adalah CSR merupakan konsep yang menjawab tantangan globalisasi tentang derasnya arus investor asing yang masuk ke area lokal. Bahwa mereka tidak hanya memperhatikan masalah finansial (keuntungan), tetapi juga lingkungan (karyawan, masyarakat, komunitas, pemegang saham). Seperti yang terjadi di Indonesia. Akibat adanya globalisasi yang mengakibatkan dibukanya pasar bebas di Indonesia, banyak sekali perusahaan-perusahaan berbasis asing yang masuk ke Indonesia. Seperti contoh perusahaan air minum, Aqua. Perusahaan yang berbasis pada Danone, Prancis (asing); tidak hanya mengelola air minum di Indonesia (disamping perusahaan air minum lain) tetapi juga memberikan ‘pembangunan berkelanjutan’ pada masyarakat. Menjaga kelestarian hutan Indonesia dengan program tanam 1000 pohon, Aqua peduli kebutuhan air di daerah terpencil, peduli pendidikan, semua itu menjadi pertanggungjawaban perusahaan atas apa yang ia kerjakan (pengambilan sumber daya alam air di daerah). Dengan begitu, kelangsungan hidup antara keduanya (masyarakat dan perusahaan) dapat berjalan bersamaan dan berkelanjutan.

Lalu jika membicarakan global sistem, seperti apa yang dimaksud dengan global sistem? Global sistem merupakan semacam sistem komunikasi global yang mempermudah akses informasi dari seluruh dunia. Sistem global merupakan bagian dari globalisasi yang menyatukan seluruh dunia ini menjadi seperti satu perkampungan. Sistem global semacam ini digunakan perusahaan sebagai salah satu cara strategi pemasaran. Masing-masing perusahaan akan berlomba membuat iklan di media elektronik maupun internet guna menarik perhatian konsumen. Akibat kenyamanan dan instannya global sistem, membuat masyarakat menjadi konsumtif. Inilah akibat buruk dari global sistem.



Jadi, dapat digambarkan keterkaitan antara globalisasi, CSR dan Global sistem adalah sebagai berikut. Globalisasi sebagai suatu perubahan sosial budaya terbesar, yakni menggambarkan dunia ini sebagai suatu ruang yang tak lagi dibatasi oleh letak Negara dan belahan dunia karena adanya arus informasi dan komunikasi yang cepat dan canggih. Karena adanya kecepatan informasi dan teknologi canggih, orang-orang bisa berpergian jauh dalam waktu singkat. Begitu juga sebuah perusahaan raksasa (corporate). Dengan adanya global sistem, perusahaan-perusahaan raksasa tersebut dengan mudahnya mengembangkan sayap mereka ke Negara-negara asing, terutama Negara berkembang. Dalam usahanya mendirikan istilahnya sebuah cabang di Negara lain, perlu adanya kepercayaan dan reputasi yang baik dari masyarakat terhadap perusahaan. Oleh karena itu, Perusahaan raksasa (corporate) itu tadi menyadari bahwa perlu adanya Corporate Social Responsibility (CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan) sebagai bentuk rasa peduli perusahaan pada lingkungan (karyawan, alam, masyarakat, dan pemegang saham) atau bahkan sebagai salah satu strategi pemasaran juga dalam menarik hati masyarakat di Negara (atau daerah) yang mereka tempati.


Pada hakikatnya perubahan budaya adalah perubahan pola pikir masyarakat, tingkah laku serta kebisaan mereka. Perbedaan antara perubahan sosial dengan perubahan budaya terletak pada ruang lingkupnya. Perubahan budaya lebih mendasar dan umum, mencangkup kepercayaan, sosial, ekonomi, segala aspek kehidupan. Sedangkan perubahan sosial ruang lingkupnya lebih kecil, yaitu pada perubahan stuktur sosial masyarakat. Selain itu perbedaan antara perubahan sosial dan budaya dapat digambarkan seperti ini. Misalnya masuknya agama islam di Indonesia. Hal itu merupakan perubahan kebudayaan karena dengan masuknya agama islam, merubah pola pikir masyarakat yang awalnya percaya animisme dan dinamisme menjadi percaya bahwa ada Tuhan Yang Esa. Ketika agam islam berhasil merasuk pada struktur sosial masyarakat, hal itu menjadi perubahan sosial. Jadi bisa dikatakan perubahan budaya adalah perubahan yang mendasar dari perubahan-perubahan selanjutnya. Tidak mungkin ada perubahan sosial jika tidak didahului perubahan budaya. Perubahan itu sendiri terjadi karena beberapa faktor, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terjadinya perubahan adalah perubahan jumlah penduduk, adanya penemuan baru, dan terjadinya konflik. Sedangkan faktor eksternal penyebab perubahan adalah perubahan lingkungan fisik seperti bencana alam dan perubahan iklim, adanya peperangan dan adanya pengaruh budaya masyarakat lain.


Di awal penulis sudah menyinggung masalah masuknya agama Islam sebagai salah satu perubahan kebudayaan. Seperti yang diungkapkan MacIver dalam Soerjono Soekanto (2007: 262) yang menyatakan bahwa Culture adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan; maka penulis mengambil contoh masuknya agama Islam sebagai bentuk perubahan budaya. Masuknya agama Islam ke Indonesia menurut beberapa ahli, adalah melalui para pedagang muslim yang singgah di Indonesia. Mereka menyebarkan agama Islam melalui berbagai cara, dengan perkawinan, didirikannya pondok pesantren, bahkan melalui kesenian yang sudah ada untuk diselipkan nilai-nilai agama Islam didalam pertunjukannya. Seperti yang dilakukan sunan Kalijaga dalam menyebarkan ajaran Islam. Agama Islam menjadi perubahan budaya karena ajaran agama ini telah mengubah pola pikir serta tingkah laku masyarakat yang awalnya sangat percaya pada adanya roh-roh halus yang menghuni setiap tempat dan benda. Mereka selalu melakukan ritual sesajen ketika akan melakukan sesuatu atau meminta sesuatu. Lalu dalam penyebaran agama Islam, ajarannya menerangkan bahwa semua itu (kejadian alam atau hal-hal yang diluar akal manusia) merupakan kehendak Allah. Allah merupakan Tuhan semesta Alam. Ia yang mengatur segala kejadian yang ada di bumi termasuk yang menciptakan manusia-manusia. Lalu penyebar agama Islam juga menerangkan bahwa setiap keinginan atau dalam rangka menyembah Allah, Tuhan Semesta Alam, tidak perlu dengan sesajen atau ritual-ritual lain seperti yang biasa masyarakat Indonesia lakukan. Cukup dengan sholat, maka Tuhan akan mendengar setiap permintaan hambanya. Ditambah dengan penyebaran agama Islam melalui berbagai kesenian dan kebiasaan yang sudah tumbuh dalam masyarakat sebelum Islam hadir, maka ajaran-ajaran Islam menjadi berkembang pesat. Seperti yang kita ketahui dewasa ini bahwa sebagian besar penduduk Indonesia menganut agama Islam. Hal itu membuktikan bahwa agama Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia.

Lalu bagaimana dampak perubahan tersebut dalam masyarakat? Setiap perubahan memiliki dampak, entah itu positif atau negatif. Agama Islam sendiri sebagai sebuah perubahan budaya, sekaligus agama yang membawa kebaikan, tentu tidak dapat dikatakan bahwa perubahan ini membawa dampak positif atau negatif. Penulis mengatakan bahwa selama agama tersebut diterima baik oleh masyarakat sekitar dan setiap ajarannya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari maka agama tersebut membawa perubahan yang baik. Sebenarnya penyebutan perubahan yang baik dan buruk dalam sebuah agama tidak sesuai. Mengapa? Karena pada hakikatnya agama merupakan sebuah kepercayaan dan kepercayaan itu bersumber dari pilihan masing-masing orang. Sehingga secara umum, dampak dari penyebaran agama Islam di Indonesia adalah kehidupan manusia menjadi lebih terarah, memiliki tujuan, dan berpedoman.

Lalu apakah perubahan kebudayaan tersebut juga termasuk perubahan sosial? Dan bagaimana proses perubahan kebudayaan tersebut dapat dikatakan perubahan sosial juga? Seperti yang sudah disinggung di awal artikel ini, bahwa masuknya agama Islam juga merupakan perubahan sosial. Sulit sekali memisahkan antara perubahan budaya dan sosial, karena memang keduanya erat kaitannya dalam masyarakat. Bagaimana bisa masuknya agama islam menjadi sebuah perubahan sosial? Gambarannya seperti berikut. Ketika masuknya ajaran agama Islam di Indonesia mengubah tata cara atau kebiasaan penduduk yang menerimanya maka perubahan yang terjadi masih merupakan perubahan kebudayaan. Namun ketika ajaran agama tersebut menjadi suatu norma yang mempengaruhi atau alat yang mengatur (dijadikan pedoman) dalam struktur masyarakat dalam menjalankan hubungan sosial maka secara tidak langsung terjadi perubahan sosial. Maksudnya disini adalah ketika pemimpin masyarakat mencoba mengatur tata kehidupan rakyatnya dengan berpedoman dengan ajaran Islam, tidak menjadikannya hanya sekedar aliran kepercayaan masing-masing individu, maka perubahan budaya tadi secara tidak langsung ikut menjadi perubahan sosial dalam masyarakat tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa masuknya agama Islam merupakan perubahan budaya sekaligus perubahan sosial.

Memang sulit membedakan antara mana yang merupakan perubahan kebudayaan dan mana yang merupakan perubahan sosial. Namun ketika kita tahu mana instrumen-instrumen budaya dan mana instrumen sosial, maka kita bisa dengan mudah membedakan mana yang termasuk perubahan budaya dan mana yang termasuk perubahan sosial. Dalam kenyataannya, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan karena budaya dan sosial merupakan hal yang melekat dalam masyarakat. Masyarakat mana yang tidak punya kebudayaan. Memang ada sebagian kecil perubahan budaya yang tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan sosial. Misalnya saja perubahan mode pakaian karena tidak mengubah struktur masyarakat yang dikenainya. Namun pada umunya sebagian besar perubahan budaya akan diikuti dengan perubahan sosial.




Konflik merupakan hal yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Tidak ada konflik, berarti tidak ada masyarakat. Konflik adalah proses sosial dimana individu atau kelompok menyerang, membuat tidak berdaya atau menghancurkan individu atau kelompok lain. Dengan adanya konflik, akan memicu perubahan sosial di dalam masyarakat. Secara garis besar, konflik disebabkan karena adanya perbedaan-perbedaan. Perbedaan individu (perbedaan pendirian dan perasaan), perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan. Perbedaan-perbedaan tersebutlah yang mendorong sehingga konflik terjadi. Ketika individu-individu dalam masyarakat berinteraksi, tentunya ada tujuan masing-masing individu yang terbawa dalam interaksi. Dan karena adanya perbedaan-perbedaan tadi, membuat pencapaian tujuan berkonflik. Dari sinilah awal mula bisa terjadinya perubahan sosial.


Jenis konflik dibagi menjadi yaitu konflik pribadi (antar individu), konflik rasial, konflik antar kelas, konflik politik, konflik internasional. Konflik pribadi terjadi ketika ada perasaan tidak suka seseorang terhadap orang lain (karena perbedaan-perbedaan diantara keduanya) sehingga muncul rasa ingin memaki, menjatuhkan bahkan menghancurkan lawan. Konflik rasial adalah konflik yang muncul karena perbedaan ras dalam masyarakat. Penyebab utama dari konflik rasial biasanya berasal dari perbedaan latar belakang budaya. Konflik antar kelas adalah ketika kelompok yang tidak berdaya meminta kesamaan pembagian sumber daya pada kelompok yang berdaya, kelompok yang memiliki kekuasaan menguasai kelompok lain. Konflik politik adalah ketika proses penyelesaian suatu masalah, tiap kelompok dalam masyarakat menggunakan cara berpolitikan yg berbeda. Lebih sering tentang kebijakan pemerintah. Ada pihak yang mendukung (pro) dan ada juga yang tidak (kontra), sehingga terjadi konflik terbuka dalam masyarakat. Sedangkan konflik internasional adalah konflik antar Negara yang berdaulat. Bisa karena masalah perbatasan, politik luar negeri, kerja sama internasional, dan lain-lain.


Konflik juga mengakibatkan beberapa hal. Baik positif maupun negatif. Dampak positif dengan adanya konflik adalah meningkatkan solidaritas intern dalam suatu kelompok yang sedang bertikai dengan kelompok lain. Individu dalam masing-masing kelompok yang berkonflik akan menyatukan kekuatan, solidaritas, guna memenangkan konflik. Lalu konflik tersebut akan memawa masyaraka ke dalam suatu perubahan sosial sebagai tanggapan dari konflik tersebut. Sedangkan dampak negatif konflik adalah keretakan hubungan diantara dua kelompok yang bertikai, kerusakan harta benda, memakan korban luka maupun meninggal, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, mari kita ulas salah satu contoh konflik yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu konflik vertical antara rakyat Aceh dengan Pemerintah.

Sebagaimana yang kita tahu, konflik Aceh dengan pemerintah pusat sudah terjadi sejak lama. Diawali dengan kekecewaan rakyat Aceh pada sikap Pemerintah yang menganaktirikan Aceh. Kemudian berlanjut karena rakyat Aceh merasa Pemerintah hanya mengambil sumber daya alam Aceh tanpa memberikan timbal balik yang setimpal. Ditambah dengan pendekatan militer yang diterapkan orde baru untuk menekan pergerakan GAM, semakin membuat konflik Aceh sulit untuk menemui jalan keluar. Selain itu juga karena faktor Indonesia yang baru saja merdeka, yang masih mencoba mencapai stabilitas Negara, membuat banyak sekali daerah-daerah yang ingin memerdekakan diri. Tetapi hanya Aceh dan Papua lah yang paling alot untuk mecapai kesepakatan damai.

Banyak sekali korban jiwa berjatuhan selama konflik Aceh. Bahkan sempat mendapat julukan ‘Aceh berlumur darah’ karena hal tersebut. Berbagai cara ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dialog antara Pemerintah dan Rakyat Aceh pun diadakan. Keterlibatan pihak ketiga sangat membantu dalam penyelesaian konflik antara Aceh dan Pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman, kedua belah pihak yang bersengketa memilih HDC (Henry Dunant Centre) untuk menjadi penengah atau pihak ketiga yang membantu penyelesaian masalah mereka. Namun, usaha tersebut tidak memunculkan titik terang. Justru permasalahan semakin rumit. Sehingga muncullah pro dan kontra atas kehadiran HDC tersebut. Negosiasi kembali dibuka pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kali ini CMI (Crisis Management Initiative) lah yang hadir sebagai pihak ketiga untuk menjembatani permasalahan yang dihadapi RI-GAM. Negosiasi tersebut menumbuhkan titik terang dan menghasilkan nota kesepahaman perdamaian antara RI-GAM di Helsinki.

Dari penjelasan tersebut hal yang dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian konflik adalah dengan berdialog. Dialog untuk memahami satu sama lain, mencoba mencari kesepakatan antara apa yang diinginkan pihak satu dan pihak lain tanpa harus merugikan satu sama lain. Bentuk dialog tersebut bermacam-macam. Berikut jenis-jenis penyelesaian konflik:

Yang pertama, Konsiliasi. Yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses pihak-pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketanya. Yang kedua, Mediasi. Yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan.

Yang ketiga, Arbritasi. Yaitu suatu cara penyelesaian masalah dengan menghadirkan pihak ketiga yang berperan sebagai “judge” atau melalui pengadilan. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi internasional lain seperti PBB. Yang keempat, Koersi. Yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya, dalam perang dunia II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan menerima syarat-syarat damai.

Dari cara-cara penyelesaian konflik tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa cara yang ditempuh Pemerintah Pusat dan GAM untuk menyelesaikan masalah mereka adalah Mediasi. Menghadirkan pihak ketiga (dalam hal ini CMI), pihak ketiga tersebut memberikan nasehat-nasehat (bersifat konsultif) dan tidak memberikan keputusan yang mengikat. Nota perdamaian RI-GAM bukan hasil keputusan CMI, melainkan karena kesepakatan bersama antara RI dengan GAM. Namun nota tersebut tidak akan berarti tanpa adanya pemeliharaan perdamaian. Kedua belah pihak juga harus bisa menjaga perdamaian tersebut. pemerintah harus lebih memperhatikan wilayah-wilayah kedaulatannya, sedangkan rakyat Aceh juga perlu adanya kesadaran bahwa Indoensia ini luas, banyak pulau yang dipisahkan dengan lautan. Mereka harus bisa mandiri dan justru membuktikan diri bahwa mereka bisa mengurus rumah tangga wilayahnya sendiri dengan mengolah sumber daya alam mereka sendiri.