Dalam review yang berjudul ‘The Understanding and Practice of Servant-Leadership’, Larry C. Spears mencoba memberikan gambaran umum tentang konsep ide Robert K. Greenleaf tentang Servant-Leadership (kepemimpinan yang melayani). Review ini merupakan review esai Robert K. Greenleaf yang diterbitkan tahun 1970. Greenleaf dalam esai yang berjudul “The Servant as Leader”, yang untuk pertama kali memperkenalkan istilah Servant-leadership pada khalayak. Tujuan penulisan essai ini sendiri adalah untuk merangsang pikiran dan tindakan dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih peduli lagi. Larry menyatakan bahwa berbagai model kepemimpinan (tradisional, autokratik dan hierarki) menaruh perhatian pada pandangan berbeda tentang cara bekerja, yaitu yang berbasis kerja tim dan komunitas, yang berusaha melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan, yang berbasis kuat pada etika dan kepedulian perilaku, serta yang berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan pribadi pekerja sekaligus meningkatkan kepedulian dan kualitas institusi. Semua hal tersebut memunculkan adanya pendekatan Servant-Leadership.

Servant-leadership merupakan pendekatan kepemimpinan yang menekankan pada peningkatan pelayanan pada orang lain, termasuk karyawan, konsumen atau masyarakat sebagai prioritas utama. Greenleaf mengatakan bahwa servant-leadership dimulai dari perasaan ingin melayani, kemudian berkembang menjadi pilihan sadar untuk menjadi seorang pemimpin. Dalam review, Larry Spears menuliskan sepuluh karakteristik servant-leader (pemimpin yang melayani), yaitu Listening (mau mendengarkan), empathy (memiliki rasa empati), Healing (mampu menyembuhkan keputusasaan karyawan), awareness (memiliki kesadaran umum), Persuasion (kemampuan meyakinkan khalayak), konseptualisasi (mampu mengkonsep visi), Foresight (kemampuan meramal situsi masa depan), Stewardship (memegang kepercayaan yang diberikan orang lain), komitmen untuk menumbuhkembangkan profesionalitas individu, dan membangun komunitas tertentu.

Setelah melalui perjalanan yang panjang, prinsip servant-leadership diaplikasikan dalam proses bekerja dan berbisnis suatu perusahaan. Larry Spears kembali menguraikan aplikasi-aplikasi dari servant-leadership Greenleaf di berbagai perusahaan. Yang pertama ia menyebutkan servant-leadership sebagai model kelembagaan. Dalam hal ini, servant-leadership menyarankan pendekatan kelompok untuk analisis dan pengambilan keputusan guna memperkuat lembaga dan memperbaiki masyarakat. Selain itu juga, menekankan kekuatan persuasi dan mencari konsensus daripada sistem top down yang sudah diterapkan selama ini. Servant-leadership juga menyatakan bahwa tujuan utama sebuah bisnis tidak hanya mencari keuntungan bisnis semata tetapi juga harus bisa menciptakan dampak positif bagi karyawan dan masyarakat. Disana dicontohkan perusahaan TD Industries yang berhasil membawa perusahaan mereka menjadi salah satu perusahaan terbaik dengan mengangkat filosofi kepemimpinan-yang-melayani (servant-leadership).

Aplikasi kedua adalah pendidikan dan pelatihan pengabdi (wali) sukarela (not-for-profit trustee). Disini yang dimaksud pengabdi adalah dewan direksi beserta komisarisnya. Servant-leadership menunjukkan bahwa pengabdi tersebut perlu menjalani perubahan radikal dalam bagaimana mereka mendekati peran mereka. Pengabdi (wali) yang berusaha bertindak sebagai servant-leader dapat membantu menciptakan lembaga yang berkualitas.

Aplikasi ketiga adalah program komunitas kepemiminan. Hal ini menyangkut pendalaman peran pemimpin dalam organisasi kepemimpinan masyarakat. Semakin banyak kelompok kepemimpinan masyarakat yang menggunakan sumber dari Greenleaf center sebagai bagian dari usaha pendidikan dan pelatihan mereka sendiri.

Aplikasi keempat adalah program pembelajaran pelayanan. Ini menggabungkan antara servant-leadership dengan pendidikan pengalaman. Aplikasi kelima adalah pendidikan kepemimpinan. Hal ini menyangkut penggunaan servant-leadership baik dalam pendidikan formal dan informal dan program pelatihan. Hal ini dilakukan melalui kepemimpinan dan pelatihan manajemen di perguruan tinggi dan universitas, serta melalui program pelatihan perusahaan. Aplikasi keenam adalah transformasi pendidikan. Dalam hal ini, servant-leadership digunakan dalam program yang berhubungan dengan pengembangan pribadi. Servant-leadership beroperasi baik di tingkat kelembagaan maupun pribadi. Bagi individu hal itu menawarkan sarana pertumbuhan rohani pribadi, profesional, emosional, dan intelektual.

Ketertarikan dalam filsafat dan praktek servant-leadership Greenleaf sekarang ini pada titik tertinggi sepanjang masa. Ratusan artikel tentang konsep servant-leadership telah muncul di berbagai majalah, jurnal, dan surat kabar selama dekade terakhir. Banyak buku tentang masalah umum kepemimpinan telah diterbitkan yang merekomendasikan servant-leadership sebagai cara yang lebih holistik. Dan, akan semakin banyak literatur yang tersedia untuk memahami dan mempraktekan servant-leadership Robert K. Greenleaf.
Percaya tidak bahwa pada dasarnya manusia terdiri dari sisi negatif dan sisi positif?
Percaya tidak bahwa pada dasarnya manusia tidak bisa berubah?
Percaya tidak bahwa sebenarnya yang terjadi bukanlah "kita berubah" tapi "sisi baik ku lebih mendominasi" atau "sisi negatif ku mendominasi". . ??



Aku berpikir bahwa manusia tidak bisa berubah.


Aku menulis posting ini karena....... kau tau, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seseorang (bisa dikatakan) 'dibully'. .
Benar-benar dibully. . yah walaupun tidak secara fisik. .
Tapi...... entahlah. Aku merasa simpati terhadapnya. .

Baiklah, begini ceritanya.
Dia cewek temennya temenku. Sebut saja namanya 'Ayam'. Dan temanku itu namanya 'Kucing'.
Kucing pernah bercerita bahwa Ayam itu anaknya frontal, omongannya itu nggak bisa dijaga, tidak memperhatikan perasaan orang lain, nggak berpikir panjang, dan lain-lain. Aku cuma mendengarkan dan diam. Aku sesekali menanggapinya dengan senyuman dan beberapa pertanyaan seperti "Kenapa?", lalu "Ohh..."
Dan dia juga bercerita saat ini si Ayam lagi 'perang dingin' sama Cicak (temannya sekelas + sekamar) cuma gara2 cowok yang disukai si ayam ternyata jadian sama Cicak. Dan ternyata si ayam ngerasa buruk tentang hal itu dan akhirnya membuat hubungannya dengan cicak menjadi runyam.

Oh, ya. Orang-orang yang aku ceritakan disini adalah satu geng, biasanya kemana-mana bareng. Tapi gara insiden 'temen makan temen', hubungan antar geng ini jadi ..... rumit!

Hmmm......... sebenernya aku juga nggak paham bagaimana cerita selengkapnya, hanya saja ketika kemarin mereka se-geng minus cicak berkumpul di rumahku, mereka menampakkan suasana yang tidak menyenangkan dalam pertemanan.

Well, aku merasa si Ayam ini 'dikucilkan' oleh teman-teman se-gengnya sendiri. Kau tau karena apa? Masing-masing dari mereka 'pernah' sakit hati gara-gara omongan si Ayam.
Dan karena itulah, mereka secara serempak mengatakan seperti ini:
"Kamu harus berubah, Yam. Berubahah. Kamu tau nggak kalo omonganmu itu nyakitin orang lain. Kamu lho pernah gini ke aku, kamu pernah gitu ke dia. Dan kita sakit hati..."
Mereka mengatakan berkali-kali supaya si Ayam itu berubah.

Oke. Itu bagus. Maksudku, menyadarkan orang yang salah.

Dan kau tau apa yang paling parah?
Entahlah, tapi aku merasa si Ayam itu benar-benar ... tersesat. Dia seperti linglung. Dia bahkan menjawab perkataan teman-temannya dengan "Lalu aku harus gimana? Bagaimana aku berubah?"

Dari situ aku menyimpulkan bahwa sebenarnya ada keinginan dari si Ayam untuk BERUBAH.
Oke. Itu sangat bagus.

Tapi yang membuatku jadi tak suka dengan model pertemanan mereka adalah "Seolah mereka peduli, tapi sebenarnya tidak"
Aku mengatakan begitu karena seolah2 si Ayam jadi dikucilkan, setiap dia ngomong sesuatu nggak ada yang dengerin, bahkan mereka seolah-olah mengalihkan pembicaraan.

Dalam hati aku berkata, "Bisa nggak sih, orang-orang ini melihat sisi lain dari Ayam?"
Seolah-olah hati mereka sudah tertutup oleh sakit hati.
Maksudku, pernah nggak dia memposisikan dirinya jadi si Ayam?
Maksudku, bisa nggak mereka liat niat baik yang udah si Ayam lakuin? Dia mau berubah lho.... Itu udah baik menurutku.

Rasanya saat itu aku ingin mengangkat tangan dan berkata:
Gini ya, NGOMONG ITU GAMPANG!
Nyuruh orang lain berubah itu gampang. Tapi jujur saja itu susah dilakukan. Apalagi ini berkaitan dengan kepribadian. IT'S REALLY HARD, DUDE. .

Tau kenapa? Karena sampai sekarang aku juga tidak bisa merubah diriku.

Beratus-ratus kali, beribu-ribu kali Ibuku mengatakan "Mbok ya yang ramah gitu lho nduk. yang supel ..." bla bla bla , Tapi NGGAK BISA! Kenapa? BECAUSE THIS IS ME. Aku adanya seperti ini; nggak bisa dengan gaya yang sok SKSD, supel, tertawa disana sini, dengan mudahnya mendapat banyak teman.... Tidak!
Itu bukan berarti aku tidak mencoba untuk supel dan sebagainya. I'VE TRIED! Oke, aku sudah mencobanya dan aku seperti merasa ini bukan aku. justru aku tidak merasa nyaman dengan hal-hal yang sok akrab dan banyak bicara. Entahlah, rasanya setelah aku mencobanya, aku justru merasa bersalah. Merasa bahwa omonganku tidak membawa manfaat yang berarti.
Ya, aku juga bukan orang yang punya kepercayaan diri yang cukup.

Dan seberapapun aku mencoba untuk supel, pada akhirnya aku kembali menjadi diriku yang dulu.

Ketika aku melihat si Ayam saat itu, aku merasa dia juga hilang. . .
Sebelumnya, yang aku tahu, dia cewek yang ceria, yang bisa ketawa lebar-lebar. Tapi ketika kemarin itu, dia seolah-olah jadi takut untuk berbicara keras2, bercanda...... Ia takut menyakiti lagi.

I knew that feels, sist. . .

Kau tau, konteks berubah disini berbeda dengan 'berubah untuk tidak merokok', 'berubah untuk berhenti nyontek', dsb. Aku pikir itu bisa dilakukan.
Tapi ini tentang kepribadian. Identitas diri.
Identitas diriku bukan yang suka ketawa sana-sini, yang bisa supel dengan siapapun; Aku itu seorang yang jarang berbicara, yang tidak suka SKSD. (Mmm.... tapi beda lagi kalo kamu udah kenal lama sama aku. .).
Mungkin bagi beberapa orang yang baru pertama bertemu dan kenal, akan merasa canggung untuk berbicara panjang lebar denganku. Karena aku pada dasarnya sulit menghangatkan suasana, kadang sulit untuk menjaga seseorang untuk tetap mengobrol denganku.
Tapi, ingat! I'LL TRY MY BEST. Selama itu tidak melampaui yang aku bisa.

Begitu juga dengan si Ayam. Aku yakin dia telah berusaha semampunya.
Tapi camkan ini.
Walaupun kita telah berusaha merubah itu, hanya perubahan kecil yang mampu kami hasilkan. Dan sayangnya orang tidak memperhatikan itu. Dan mereka terus menuntut pada kami.


Pada akhirnya, hanya satu yang akan kutanyakan pada mereka,
"Bisakah kau menerima kami seperti ini??"

If you're not, I'll find someone who will...
Aku akan pergi dan mencari seseorang yang bisa menerimaku, benar-benar menerimaku tanpa harus membuatku merasa dikucilkan.....

Ada fenomena yang sebenernya dari dulu pengen aku kupas.
Ini tentang PENGEMIS!

Menurutku, banyak Pengemis sekarang ini yang (maap) "TUKANG TIPU"!
Maksudku, sekarang ini, banyak pengemis yang PURA-PURA! --> pura-pura lemah, pura-pura cacat, pura-pura loyo, pura-pura kumal, pura-pura nggak punya rumah, .... dan segala kepura-puraan mereka yang lain. Bahkan nih, ada juga yang udah nggak pake' kepura-puraan. Langsung nodong minta duit. Biasanya yang ngelakuin hal ini anak-anak, agak ABG gitu.
Kok aku bisa bilang kayak gitu?
Karena aku pernah mengalami sendiri. (yah, sapa coba yang nggak pernah berurusan sama pengemis)


Waktu itu aku lagi duduk-duduk santai di kedai teh di dalem Pasar Wonokromo Surabaya. Eh, pas enak-enak nungguin es nya dibikin, tiba-tiba ada anak muncul sambil menengadah dan bilang, "Mbak, minta duitnya mbak. Belum makan mbak. ..... Ayolah mbak. Minta duitnya mbak."
Begitu aku geleng-geleng untuk menandakan ketidakmauan, tuh anak langsung bilang, "Pelit sampeyan mbak....", sambil ngomel gak jelas (rada' nggak denger tuh anak ngomong apaan). Terus dia pergi ke yang lain.
Hhhhh...... yang kecil aja udah diajarin buat NGEMIS.... ??

Apalagi setelah membaca berita dari detikNews tentang pengemis yang jadi jutawan di kampungnya. Belum lagi orang yang pura-pura jadi cacat. (Astagfirulaahh. . .) Moga aja tuh orang nggak jadi cacat beneran.

INI BENAR-BENAR IRONIS!

Inilah kenapa aku bilang "Indonesia Krisis Iman" ----> Koruptor menggila, ngemis jadi pekerjaan yang menjanjikan, tindak asusila yang sepertinya mulai jadi biasa buat orang-orang kita (liat aja kelakuan orang-orang yang 'kepergok' lewat tipi). (Naudzubillaahh...)

Kalo keadaannya kayak gini, aku, yang awalnya pengen sedekah, jadi ngerasa gimanaaaa gitu. Kadang juga duit yang mereka (*pengemis) dapet, dipakai buat beli hal yang gak bermanfaat ----> Rokok, miras, dll. Dan juga, setelah tau bahwa banyak pengemis yang udah lebih kaya' dari kita, rasanya jadi nggak respect ama pengemis. Padahal, (mungkin) masih ada pengemis di luar sana yang emang bener-bener butuh sedekah kita. Tapi gara-gara kelakuan para 'Tukang Tipu' itu jadi pandangan kita ke pengemis jadi negatif terus.

Jadi.... gimana dong? Mau tetep ngasih atau enggak??


Kalo kata bapakku, "Ya udahlah. Kita kan niatnya sedekah. Kasian liat orang kayak gitu. Kalo ternyata mereka cuma pura-pura, ya.... itu urusan dia ama Yang Diatas..."
Sedangkan kalo kata ibukku, "Liat-liat dulu aja orang yang mau kita kasih. Kalo sekiranya dia masih segar bugar, mending nggak usah. Mending kita ngasih sedekah ke orang yang kita udah tau kalo dia memang kurang mampu...."

Bijak kan bapak-ibukku??? :D


Kalo kalian, gimana cara menyikapi hal seperti itu?
Pernah punya pengalaman langsung?
Share Yuukk. . .


Tanggal 9 Desember besok akan diadakan Pemilu Kepala Daerah serentak dan aku ingin nge-share ulang artikel ini dari blogku yang lama. Aku pikir ini penting, sekedar sebagai pengingat saja.

Waktu itu bertepatan dengan pemilu presiden 2014. Salah satu temen facebook nge-share ke komunitas alumni SMA ku, mengingatkan bahwa Pemilu kurang dua bulan lagi. Dan dia juga bilang, "Gunakan kesempatanmu untuk berpartisipasi, jangan apatis" dengan tautan 'Buta Politik' dibawahnya.

Begitu aku baca tulisan 'buta politik' itu, intinya, bahwa bodoh sekali jika tidak mau mendengar, mengatakan dan ikut berpartisipasi dalam pemilu karena segala hal yang terjadi di negara ini adalah dari hasil politik.
BENAR MEMANG. Tidak salah sedikitpun.

Memang semakin banyak saja warga yang golput atau memilih tidak mencoblos waktu pemilu atau bahkan pilkada. Bukan tanpa alasan. Bukan berarti mereka tidak suka politik. Hanya saja mereka beralasan 'TIDAK KENAL' dengan si Calon.

Ketika pilgub Jawa Timur kemaren, alhamdulillah saya sudah berpartisipasi dengan memberikan suara ke TPU. Tetapi masih ada juga tetangga yang memilih golput, atau bahkan jika mereka tidak golput, mereka justru asal-asalan dalam mencoblos (mereka mencoblos nomor semua calon). Jelas itu tidak sah dong! Tapi mereka sadar lho, melakukan itu. Bukan karena ketidaktahuan. Yah, walaupun masih ada juga yang nyoblos asal-asalan karena tidak tahu. Tetapi yang perlu diperhatikan, kenapa mereka melakukan kesalahan padahal mereka tahu itu salah???

*Ini hasil nguping dan ikut nimbrung*

Bu X : Pak Y, coblos yang mana tadi? (sok kepo)
Pak Y : Ah, saya coblos semua tadi.
Saya : Lho? Kok dicoblos semua? Nggak sah dong pak?
Pak Y : Ya Biarin. Bingung mau milih yang mana..
Bu Z : Saya aja nggak nyoblos kok Pak Y. Lha wong nggak kenal kok. Lagian, ntar pasti juga tetep gini-gini aja.


Dari situ, saya menyimpulkan bahwa tulisan 'Buta Politik' itu benar.
Lalu sekarang pertanyaannya adalah:
Mengapa mereka golput?
Mengapa mereka buta politik dan justru merasa bangga karena buta politik?

Baiklah. Salah satu alasannya adalah "Nggak Kenal".
Nggak kenal si Calon? Iya.
Masuk akal juga kalo misalnya orang nggak mau nyoblos alias golput karena nggak ngerti calon-calon mana yang PANTAS untuk dipilih.
Mmmm.... Pengennya sih juga berpartisipasi (bagi yang nggak buta politik), tapi bingung harus pilih calon yang mana?
Kalo pemilu presiden atau kepala daerah, (mungkin) masih bisa pilih-pilih dengan tepat karena calonnya nggak terlalu banyak. Paling 3 sampai 4 calon. Mungkin bisa juga ditelusuri jejak politiknya via internet.



Yang bingung kalo udah pemilu legislatif. Bingung abis.
Kan kadang kita nggak tau asal usul si caleg. Apalagi kalo kasusnya udah kayak yang di tipi:
"Caleg Kota ini/ Prov ini ternyata cuma tukang becak"
"Caleg Kota ini/ Prov ini ternyata cuma lulusan SD"

Nah! Untung aja ketahuan di depan. Nah yang nggak ketahuan itu gimana?!

Memang ada orang yang buta politik, karena mungkin mereka sudah capek. Mereka menganggap, kader-kader partai itu ya gitu2 aja. Mungkin kompetensinya beda, tapi ajarannya itu lho. Ajaran dari partainya. Kayak gini nih: "Inget! Siapa yang udah bikin lo sampek di posisi ini? Jangan sampek lupa.."
Seharusnya kan kalo udah menjabat, ya udah. Lepas dari politiknya, untuk kepala eksekutif.
Kalo yang legislatif, ya setidaknya dia bisa membedakan porsi untuk rakyat dan porsi untuk partainya.

Tapi itu teoritis banget emang. Faktanya, teori selalu beda dengan praktek. Pasti ada improvisasi2 teori dalam praktek. Atau bahkan bisa sampai bikin teori baru dari praktek2 tersebut.

Kenapa jadi ngelantur jauh gini ya?!

Yah, intinya, sebenarnya golput itu bukannya apatis-apatis banget kok. Saya yakin orang golput itu masih peduli dengan Negara ini. Hanya saja perlu diperbaiki sistem politiknya.
Eh, masuk akal nggak sih?
Kayaknya nggak masuk akal ya kalo memperbaiki sispol ?!

Mmm.... mungkin yang perlu diperbaiki komunikasi politiknya kali ya.
Supaya visi misi parpol itu bisa tertangkap secara jelas oleh masyarakat.
Jangan cuma kalo musim pemilu doang gencar komunikasi, itu mah namanya pencitraan, cari masa.
Apalagi kalo komunikasinya pake duit, yaaaahhhh...... itu bukan memberikan pendidikan politik yang baik kalo gitu. Berikan pendidikan politik yang baik ke masyarakat. Sesuaikan pendidikan politik ke masyarakat; bahasa, media, materi sesuai dengan latar belakang pendidikan.
Kalo komunikasi politiknya bagus, insya Allah, masyarakat bakal lebih banyak yang mau berpartisipasi.

Eh, tapi Indonesia lebih demokratis lho daripada Amerika. (Kata dosenku sih, dan dia merujuk ke salah satu lembaga survey dunia gitu. Tapi aku lupa namanya)
Yah, disana masih lebih banyak yang golput daripada di Indonesia.
KIra-kira kenapa ya mereka golput?
Tau ah!
Kalo disini kan, biasanya golput karena latar belakang pendidikan yang rendah dan pendidikan politiknya yang juga belum tinggi2 amat. :D


Oke. Itu pemikiranku menganai golput.
Ini bukan berarti kalo golput itu bagus.
Nggak juga.
Liat situasinya.
Lagipula kalo kita tahu calon yang pantas, kenapa harus golput.

Mm... ini beda lagi ya ama orang2 yang emang udah pro ama satu parpol tertentu.
Pasti mereka, sampe akhir hayat, gimanapun keadaannya, mau siapapun calonnya, dia pasti bakalan pro ama partai  itu.

Kalo aku sih, mana yang baik, itu yang dipilih.
Bukan masalah pro sana, pro sini.
Yang profesional aja.... #Ceilah :)

Udah ah, jadi ngelantur kemana-mana.
Yang jelas, jangan jadikan golput sebagi pilihan utama, tapi pilihan akhir. Kalo perlu jadi pilihan cadangan aja.
OYI?!

Kali ini aku ingin memberitahu kalian tentang blog-blog ku yang terlantar. Pembacanya udah banyak sih, cuma aku kurang sreg sama isi blognya yang berantakan banget dan nggak terkonsep. Pengennya aku hapus aja, tapi tulisannya...... eman kalo ikutan kehapus!
Mungkin aku akan mengimpornya ke sini.


Aku mulai nge-blog sejak ada mata kuliah Sistem Informasi Manajemen (kalo nggak salah) dan salah satu materinya tentang blogging gitu (nyambung gak sih?).
Awalnya cuma tugas. Tapi daripada blog itu nganggur, trus ditambah aku memang suka nulis hal yang nggak penting, akhirnya kenapa nggak dimanfaatkan aja blognya? Kan eman!

Selama nge-blog, aku suka gonta-ganti account. Nggak sreg, hapus. Nggak sreg lagi, hapus lagi. Bahkan, asal kalian tahu, aku punya 3 akun google cuma buat nge-blog. Niat banget kan?
Nggak. Itu cuma kebodohan.

Seingatku, dulu satu akun google cuma bisa bikin blog satu. Nggak kayak sekarang. Satu akun google bisa bikin lebih dari satu blog (seingatku sih). Karena itulah aku punya banyak akun.
*nb: buat temen2 yang punya akun google plus dengan nama Yuana Al Rosa lebih dari satu, hapus aja. Yang ini yang aku pake, yg phot-prof nya pake kerudung merah. Yang lainnya mau aku hapus.

Maunya sih yang lain aku hapus akun google nya. Tapi ada satu yang bermasalah.
Kayaknya ada yang ngambil alih.
Semacam nge-hack gitu. Cuma nggak ngirim hal-hal aneh kayak hacker biasanya. Sepertinya tujuannya cuma buat mengambil alih domain blog ku. Paham maksudku?
Nama blogspotku "Why So Serious" berubah isi jadi gambar batman. Dan kiriman blog yang biasanya aku share di akun google plus ku mendadak nggak ada. KOSONG!!
Masih nggak percaya dengan apa yang terjadi dengan akun google yang itu, aku mencoba membuka emailnya. Emang sih aku lupa passwordnya. Tapi akun googleku yang lainnya, yang aku juga lupa passwordnya (ingat! aku punya tiga akun google) bisa dipulihkan kembali dan dibuka kembali.
Tapi beda sama akun googleku yang bermasalah itu. Dia nggak bisa dipulihkan. Bahkan informasi dasarnya diganti.Semacam recovery systemnya diganti. Biasanya yang aku pake recovery itu nomor hape, kalo nggak gitu email yang biasanya aku buka. Nah yang terjadi di akun bermasalah itu nggak gitu. Malah minta angka2 yang nggak aku kenal sama sekali. Recovery systemnya bukannya ngirim ke hape, malah ke alamat lain yang aku nggak pernah bikin. Asli, nggak beres!

Akhirnya, karena udah mau ashar juga, aku ikhlasin deh itu akun. Seisi blognya.

Tersisa dua akun google.

Di dua akun google itu, aku punya tiga blog. Dua di akun sini. Satu di akun sono.
Sebenarnya lima blog malah. Tapi yang dua udah dalam tahap penghapusan.
Hahahaha.

Rencananya aku mau nutup akun yang di sono. Biar nggak kebanyakan alamat email dan password. Kalo kebanyakan bikin lupa dan jangan-jangan ujung-ujungnya di ambil alih kayak gitu. Kan menakutkan!

Oh ya, ini blog yang aku kelola di akun sono:
Ini Blog CHABIE
Viewers nya udah sekitar 14k. Cuma jarang ngisi. Kan dulu lupa passwordnya.....jadi nggak bisa ngisi. Sekarang mau ngisi........ kayaknya mending ngisi di sini aja. Kalo ngisi dua blog? Akunya yang kurang materi.
Plan: Delete This Blog and also The Google Account.

Sebenarnya eman! Ditambah followers google plusku mencapai 52. Nggak banyak sih. Tapi kalo mulai dari awal lagi kan, nol lagi.
Tapi nggak apa lah.
Selalu ada yang harus dikorbankan untuk sesuatu yang besar (apanya yang besar coba?)

Selain blog di atas, blog yang ini juga mau aku hapus:
Ini blog pertamaku. Aku udah jarang nulis disini. Lagi pula ini nggak terkonsep. Berantakan. Jadi, hapus aja deh. Viewers nya udah hampir 50k. Eman banget sebenernya. Tapi nggak apalah.
Selalu ada yang harus dikorbankan dan yang diprioritaskan untuk sesuatu yang besar. - Bukan Mario Teguh.

Pengertian Administrasi

Arti Sempit
Pengertian Administrasi dalam artis sempit biasa disamakan dengan tata usaha (TU).

Arti Luas
  • Kegiatan yang bersifat Clerical = Clerk/juru tulis yang meliputi:
  1.  KORESPONDENSI, surat menyurat, pengiriman informasi secara tertulis mulai dari penyusun, penulisan, pengiriman.
  2. EKSPEDISI, aktivitas mencatat setiap informasi yang diterima, dikirim baik untuk kepentingan intern maupun ekstern.
  3. PENGARSIPAN, pengaturan dan penyimpanan informasi secara cepat dan mudah.
  • Suatu daya upaya manusia yang kooperatif, yang mempunyai tingkat rasional tinggi (Dwight Waldo)
  • Keseluruhan proses dari aktivitas-aktivitas pencapaian tujuan secara efisien dengan melalui orang lain (Stephen P. Robbins)
  • Proses umum pada setiap usaha kelompok-kelompok baik pemerintah atau swasta, sipil, militer dalam ukuran besar atau kecil (Leonardo D. White)
  • Keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan yang dilakukan dua orang/lebih yang terlibat dalam bentuk usaha kerja sama demi terciptanya tujuan yang ditentukan sebelumnya (Sondang P. Siagian)
 Secara Etimologis:
  • Bahasa Inggris: Administration, to administer, berarti mengelola
  • Bahasa Belanda: Administratie, yang mencakup tata usaha, manajemen dari kegiatan organisasi dan manajemen sumber daya.

Unsur Pokok
  1. Dua manusia atau lebih
  2. Kerja sama
  3. Tujuan
  4. Tugas/Kegiatan
  5. Sarana/alat
 Kriteria Pokok
  1. Rasionalitas
  2. Efektivitas, Hasil Guna
  3. Efisiensi, Daya Guna

Demikianlah pengertian administrasi yang perlu kalian ketahui, sekaligus unsur pokok dan kriteria pokoknya, sebelum tau jauh mengenai administrasi publik. Seperti yang telah dibahas pada postingan sebelum-sebelumnya, Administrasi negara tidak bisa dilepaskan dari dua bidang ilmu, yaitu administrasi/manajemen serta politik (sebagai pengertian dari negara itu sendiri). Dari situ, kamu pasti sudah bisa menyimpulkan maksud administrasi negara itu kan??
Administrasi negara adalah segala upaya atau keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintahan untuk mengelola sumber daya negara guna mencapai tujuan negara. Jika diuraikan berdasarkan unsur pokok administrasi, maka pengertian administrasi negara menjadi:
Kerjasama antara berbagai lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) untuk mencapai tujuan negara yang tertera di paragraf IV Pembukaan UUD 1945. Adapun kegiatan dan tugasnya dibagi sesuai bidang (ekonomi, sosial, politik, hukum, dll) dalam hal pembangunan, pendayagunaan, penataan, reformasi, mulai dari perencanaan hingga kotrol dan pengawasan, dengan sarana/alat berupa aparat pemerintah itu sendiri (sumber daya manusia), peralatan kantor yang digunakan hingga informasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan.

Sampai di sini pembahasan tentang Administrasi dan Administrasi negara. Jika ada pertanyaan, sanggahan, kritikan maupun saran bisa di sampaikan di kolom komentar. Terima kasih sudah menyempatkan membaca dan berkomentar.

Dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu administrasi publik, krisis akademis terjadi beberapa kali sebagaimana terlihat dari pergantian paradigma yang lama dengan yang baru. Nicholas Henry melihat perubahan paradigma ditinjau dari pergeseran locus dan focus suatu disiplin ilm. Fokus mempersoalkan “what of the field” atau metode dasar yang digunakan atau cara-cara ilmiah apa yang dapay digunakan untuk memecahkan suatu persoalan. Sedang locus mencakup “where of the field” atau medan atau tempat dimana metode tersebut digunakan atau diterapkan.

Berdasarkan locus dan focus suatu disiplin ilmu, Henry membagi paradigma administrasi negara menjadi lima, yaitu:
  • Paradigma Dikotomi Politik dan Administrasi (1900-1926)
  • Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937)
  • Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
  • Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
  • Paradigma Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970an)
Pada tahun 1970an, George Frederickson memunculkan model Administrasi Negara Baru (New Public Administration). Paradigma ini merupakan kritik terhadap paradigma administrasi negara lama yang cenderung mengutamakan pentingnya nilai ekonomi seperti efisiensi dan efektivitas sebagai tolok ukur kinerja administrasi negara. Menurut paradigma Administrasi Negara Baru, administrasi negara selain bertujuan meraih efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan juga mempunyai komitmen untuk mewujudkan manajemen publik yang responsif dan berkeadilan (social equity).

Pada tahun 1980 – 1990an muncul paradigma baru dengan berbagai macam sebutan seperti ’managerialism’, ’new public management’, ’reinventing government’, dan sebagainya. Paradigma administrasi negara yang lahir pada era tahun 1990an pada hakekatnya berisi kritikan terhadap administrasi model lama yang sentralistis dan birokratis. Ide dasar dari paradigma semacam NPM dan Reinventing Government adalah bagaimana mengadopsi model manajemen di dunia bisnis untuk mereformasi birokrasi agar siap menghadapi tantangan global.

Pada tahun 2003, muncul paradigma New Public Service (NPS) yang dikemukakan oleh Dernhart dan Derhart. Paradigma ini mengkritisi pokok-pokok pemikiran paradigma administrasi negara pro-pasar. Ide pokok paradigma NPS adalah mewujudkan administrasi negara yang menghargai citizenship, demokrasi dan hak asasi manusia.

Untuk memberikan gambaran tentang perkembangan paradigma dalam teori administrasi negara, buku ini membatasi pada empat paradigma yaitu Paradigma Administrasi Negara Tradisional atau disebut juga sebagai paradigma Administrasi Negara Lama (Old Public Administration), Paradigma New Public Administration, Paradigma New Public Management, dan Paradigma Governance /New Public Service.


Paradigma Administrasi Negara Lama

Paradigma Administrasi Negara Lama dikenal juga dengan sebutan Administrasi Negara Tradisional atau Klasik. Paradigma ini merupakan paradigma yang berkembang pada awal kelahiran ilmu administrasi negara. Tokoh paradigma ini adalah antara lain adalah pelopor berdirinya ilmu administrasi negara Woodrow Wilson dengan karyanya “The Study of Administration”(1887) serta F.W. Taylor dengan bukunya “Principles of Scientific Management”

Dalam bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berpendapat bahwa problem utama yang dihadapi pemerintah eksekutif adalah rendahnya kapasitas administrasi. Untuk mengembangkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien, diperlukan pembaharuan administrasi pemerintahan dengan jalan meningkatkan profesionalisme manajemen administrasi negara. Untuk itu, diperlukan ilmu yang diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan mencetak aparatur publik yang profesional dan non-partisan. Karena itu, tema dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau birokrasi yang netral dari politik. Administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentingan politik. Inilah yang dikenal sebagai konsep dikotomi politik dan administrasi. Administrasi negara merupakan pelaksanaan hukum publik secara detail dan terperinci, karena itu menjadi bidangnya birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya politisi.

Ide-ide yang berkembang pada tahun 1900-an memperkuat paradigma dikotomi politik dan administrasi, seperti karya Frank Goodnow ”Politic and Administration”. Karya fenomenal lainnya adalah tulisan Frederick W.Taylor ”Principles of Scientific Management (1911). Taylor adalah pakar manajemen ilmiah yang mengembangkan pendekatan baru dalam manajemen pabrik di sector swasta – Time and Motion Study. Metode ini menyebutkan ada cara terbaik untuk melaksanakan tugas tertentu. Manajemen ilmiah dimaksudkan untuk meningkatkan output dengan menemukan metode produksi yang paling cepat, efisien, dan paling tidak melelahkan.Jika ada cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas di sector industri, tentunya ada juga cara sama untuk organisasi public.Wilson berpendapat pada hakekatnya bidang administrasi adalah bidang bisnis, sehingga metode yang berhasil di dunia bisnis dapat juga diterapkan untuk manajemen sektor publik.

Teori penting lain yang berkembang adalah analisis birokrasi dari Max Weber. Weber mengemukakan ciri-ciri struktur birokrasi yang meliputi hirarki kewenangan, seleksi dan promosi berdasarkan merit system, aturan dan regulasi yang merumuskan prosedur dan tanggungjawab kantor, dan sebagainya. Karakteristik ini disebut sebagai bentuk kewenangan yang legal rasional yang menjadi dasar birokrasi modern.

Ide atau prinsip dasar dari Administrasi Negara Lama (Dernhart dan Dernhart, 2003) adalah :
  • Fokus pemerintah pada pelayanan publik secara langsung melalui badan-badan pemerintah.
  • Kebijakan publik dan administrasi menyangkut perumusan dan implementasi kebijakan dengan penentuan tujuan yang dirumuskan secara politis dan tunggal.
  • Administrasi publik mempunyai peranan yang terbatas dalam pembuatan kebijakan dan kepemerintahan, administrasi publik lebih banyak dibebani dengan fungsi implementasi kebijakan publik.
  • Pemberian pelayanan publik harus dilaksanakan oleh administrator yang bertanggungjawab kepada ”elected official” (pejabat/birokrat politik) dan memiliki diskresi yang terbatas dalam menjalankan tugasnya.
  • Administrasi negara bertanggungjawab secara demokratis kepada pejabat politik.
  • Program publik dilaksanakan melalui organisasi hirarkis, dengan manajer yang menjalankan kontrol dari puncak organisasi.
  • Nilai utama organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
  • Organisasi publik beroperasi sebagai sistem tertutup, sehingga partisipasi warga negara terbatas.
  • Peranan administrator publik dirumuskan sebagai fungsi POSDCORB


Paradigma Administrasi Negara Baru

Paradigma ini berkembang tahun 1970an. Paradigma Administrasi Negara Baru (New Public Administration) muncul dari perdebatan hangat tentang kedudukan administrasi negara sebagai disiplin ilmu maupun profesi. Dwight Waldo menganggap administrasi negara berada dalam posisi revolusi ( a time of revolution) sehingga mengundang para pakar ilmu administrasi negara dalam suatu konferensi yang menghasilkan kumpulan makalah ”Toward a New Public Administration : The Minnowbrook Perspective” (1971). Tujuan konferensi ini adalah mengidentifikasi apa saja yang relevan dengan administrasi negara dan bagaimana disiplin administrasi negara harus menyesuaikan dengan tantangan tahun 1970an. Salah satu artikel dalam kumpulan makalah ini adalah karya George Frederickson berjudul ”The New Public Administration”.

Paradigma New Public Administration pada dasarnya mengkritisi paradigma administrasi lama atau klasik yang terlalu menekankan pada parameter ekonomi. Menurut paradigma Administrasi Negara Baru, kinerja administrasi publik tidak hanya dinilai dari pencapaian nilai ekonomi ,efisiensi, dan efektivitas ,tapi juga pada nilai “social equity” (disebut sebagai pilar ketiga setelah nilai efisiensi dan efektivitas). Implikasi dari komitmen pada ”social equity”, maka administrator publik harus menjadi ’proactive administrator’ bukan sekedar birokrat yang apolitis.

Fokus dari Administrasi Negara Baru meliputi usaha untuk membuat organisasi publik mampu mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal yang dilaksanakan dengan pengembangan sistem desentralisasi dan organisasi demokratis yang responsif dan partisipatif, serta dapat memberikan pelayanan publik secara merata. Karena administrasi negara mempunyai komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan (social equity), maka Frederickson menolak pandangan bahwa administrator dan teori-teori administrasi negara harus netral dan bebas nilai.


Paradigma New Public Management

Paradigma New Public Management (NPM) muncul tahun 1980an dan menguat tahun 1990an sampai sekarang. Prinsip dasar paradigma NPM adalah menjalankan administrasi negara sebagaimana menggerakkan sektor bisnis (run government like a business atau market as solution to the ills in public sector). Strategi ini perlu dijalankan agar birokrasi model lama - yang lamban, kaku dan birokratis – siap menjawab tantangan era globalisasi.

Model pemikiran semacam NPM juga dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992) dalam konsep ”Reinventing Government”.Osbone dan Gaebler menyarankan agar meyuntikkan semangat wirausaha ke dalam sistem administrasi negara. Birokrasi publik harus lebih menggunakan cara ”steering” (mengarahkan) daripada ”rowing” (mengayuh). Dengan cara ”steering”, pemerintah tidak langsung bekerja memberikan pelayanan publik, melainkan sedapat mungkin menyerahkan ke masyarakat. Peran negara lebih sebagai fasilitator atau supervisor penyelenggaraan urusan publik. Model birokrasi yang hirarkis-formalistis menjadi tidak lagi relevan untuk menjawab problem publik di era global.

Ide atau prinsip dasar paradigma NPM (Dernhart dan Dernhart, 2003) adalah:
  • Mencoba menggunakan pendekatan bisnis di sektor publik
  • Penggunaan terminologi dan mekanisme pasar , dimana hubungan antara organisasi publik dan customer dipahami sebagaimana transaksi yang terjadi di pasar.
  • Administrator publik ditantang untuk dapat menemukan atau mengembangkan cara baru yang inovatif untuk mencapai hasil atau memprivatisasi fungsi-fungsi yang sebelumnya dijalankan pemerintah.
  • ”steer not row” artinya birokrat/PNS tidak mesti menjalankan sendiri tugas pelayanan publik, apabila dimungkinkan fungsi itu dapat dilimpahkan ke pihak lain melalui sistem kontrak atau swastanisasi.
  • NPM menekankan akuntabilitas pada customer dan kinerja yang tinggi, restrukturisasi birokrasi, perumusan kembali misi organisasi, perampingan prosedur, dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan


Paradigma New Public Service dan Governance

Paradigma New Public Service (NPS) merupakan konsep yang dimunculkan melalui tulisan Janet V.Dernhart dan Robert B.Dernhart berjudul “The New Public Service : Serving, not Steering” terbit tahun 2003. Paradigma NPS dimaksudkan untuk meng”counter” paradigma administrasi yang menjadi arus utama (mainstream) saat ini yakni paradigma New Public Management yang berprinsip “run government like a businesss” atau “market as solution to the ills in public sector”.

Menurut paradigma NPS , menjalankan administrasi pemerintahan tidaklah sama dengan organisasi bisnis. Administrasi negara harus digerakkan sebagaimana menggerakkan pemerintahan yang demokratis. Misi organisasi publik tidak sekedar memuaskan pengguna jasa (customer) tapi juga menyediakan pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak dan kewajiban publik.

Paradigma NPS memperlakukan publik pengguna layanan publik sebagai warga negara (citizen) bukan sebagai pelanggan (customer). Administrasi negara tidak sekedar bagaimana memuaskan pelanggan tapi juga bagaimana memberikan hak warga negara dalam mendapatkan pelayanan publik. Cara pandang paradigma NPS ini ,menurut Dernhart (2008), diilhami oleh (1) teori politik demokrasi terutama yang berkaitan dengan relasi warga negara (citizens) dengan pemerintah, dan (2) pendekatan humanistik dalam teori organisasi dan manajemen.

Paradigma NPS memandang penting keterlibatan banyak aktor dalam penyelenggaraan urusan publik. Dalam administrasi publik apa yang dimaksud dengan kepentingan publik dan bagaimana kepentingan publik diwujudkan tidak hanya tergantung pada lembaga negara. Kepentingan publik harus dirumuskan dan diimplementasikan oleh semua aktor baik negara, bisnis, maupun masyarakat sipil. Pandangan semacam ini yang menjadikan paradigma NPS disebut juga sebagai paradigma Governance. Teori Governance berpandangan bahwa negara atau pemerintah di era global tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya institusi atau aktor yang mampu secara efisien, ekonomis dan adil menyediakan berbagai bentuk pelayanan publik sehingga paradigma Governance memandang penting kemitraan (partnership) dan jaringan (networking) antar banyak stakeholders dalam penyelenggaraan urusan publik.



Sumber :
  • Tri Kadarwati. 2001. Administrasi Negara Perbandingan. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
  • Yeremias T. Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Penerbitan Gaya Media. Yogyakarta.
  • Owen E.Hughes. Public Management and Administration: An Introduction. St. Martin’s Press,Inc. New York.1994.
  • Janet V. Dernhart dan Robert B. Dernhart. 2003. The New Public Service : Serving, not Steering. M.E Sharpe, New York.
  • Robert B. Dernhart. 2008. Theories of Public Organization. Thomson & Wadsworth. USA.Fifth Edition

Paradigma Administrasi Negara Baru menurut H. George Frederickson terdiri dari lima paradigma antara lain :
  1. Masa Birokrasi,
  2. Masa Neobirokrasi,
  3. Masa Instuisi,
  4. Masa Hubungan Kemanusiaan, dan
  5. Masa Pilihan Publik,

Model Birokrasi Klasik.

Tokoh : Taylor, Wilson, Weber, Gullick Urwick

Birokrasi adalah suatu usaha dalam mengorganisir berbagai pekerjaan agar terselenggara dengan teratur. Pekerjaan ini bukan hanya melibatkan banyak personil (birokrat), tetapi juga terdiri dari berbagai peraturan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Birokrasi diperlukan agar penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut terlaksana secara efisien, efektif dan ekonomis. Dalam memahami lebih jelas pengertian birokrasi ini, maka dikemukakan ciri-ciri idealnya dari Max Weber (Frederickson, 1984) yang dikenal sebagai salah satu tokoh dalam aliran birokrasi klasik (atau aliran tradisional). Ciri-ciri ini antara lain; suatu birokrasi terdiri dari berbagai kegiatan, pelaksanaan kegiatannya didasarkan pada peraturan yang konsisten, jabatan dalam organisasi tersusun dalam bentuk hierarki, pelaksanaan tugas dengan impersonality, sistem rekruitmen birokrat berdasar pada sistem kecakapan (karier) dan menganut sistem spesialisasi, dan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara terpusat (sentralisasi).
Meskipun birokrasi klasik ini banyak dikritik, namun sampai sekarang, tetap ada beberapa karakteristik dari model ini yang bertahan dalam birokrasi pemerintahan. Kelemahan-kelemahannya antara lain, seperti terlalu kakunya peraturan yang menyertai model ini, menyebabkan banyak ahli yang melakukan penelitian untuk penyempurnaannya.


Model Neo Birokrasi

Tokoh : Simon,Cyert, March,Gore

Model pendekatan neo-birokrasi merupakan salah satu model dalam erabehavioral. Nilai yang dimaksimumkan adalah efisiensi, ekonomi, dan tingkat rasionalisme yang tinggi dari penyelenggaraan pemerintahan. Unit analisisnya lebih banyak tertuju pada fungsi “pengambilan keputusan” (decision making) dalam organisasi pemerintahan. Dalam proses pengambilan keputusan ini, pola pemikirannya bersifat “rasional”; yakni keputusan-keputusan yang dibuat sedapat mungkin rasional untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan; model pengambilan keputusan didasarkan pada prinsip manajemen modern; pendekatan dalam mengambil keputusan didasarkan pada analisis sistem; dan di dalam praktiknya banyak menggunakan penelitian operasi (operation research).

Kelebihan model ini, telah banyak dibuktikan melalui “unit analisisnya” yang lebih didasarkan pada teknik-teknik ilmu manajemen yang telah mapan sebagai kelengkapan pemecahan masalah dalam banyak organisasi besar, termasuk organisasi militer dan pemerintahan. Teknik manajemen ilmiah telah banyak digunakan dalam kegiatan penganggaran, penjadwalan proyek, manajemen persediaan, program perencanaan karyawan, serta pengembangan produk untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Dibalik kelebihannya, juga memiliki berbagai kelemahan, antara lain tidak semua persoalan dalam pemerintahan dapat dikuantitatifkan dalam menerapkan prinsip manajemen ilmiah seperti yang diharapkan dalam penerapan model ini.


Model Kelembagaan

Tokoh : Lindbloom, J. Thompson, Mosher, Blau, Riggs

Model kelembagaan merupakan penjelmaan dari era behavioralisme. Ciri-cirinya, antara lain bersifat empiris. Di samping memperhatikan aspek internal, juga pada aspek ekstemal, seperti aspek budaya turut menjadi perhatian utama dalam kajian organisasi pemerintahan (sistem terbuka). Para penganut model ini lebih tertarik mempelajari organisasi pemerintahan apa adanya (netral), dibanding mengajukan resep perbaikan (intervensi) yang harus dilakukan dalam peningkatan kinerja organisasi pemerintahan. Namun demikian, hasil karya dari tokoh penganut aliran sangat berjasa dalam pengembangan teori organisasi, karena hasil-hasil karya yang ada sebelumnya cenderung menganalisis organisasi dengan “sistem tertutup” tanpa memperhitungkan aspek eksternal organisasi, yang secara realita sangat menentukan terhadap kinerja organisasi pemerintahan.









Model Hubungan Kemanusiaan

Tokoh : Mcgregor, Argyris
 

Model hubungan kemanusiaan mengkritik model-model birokrasi. pemerintahan yang ada sebelumnya, yakni model birokrasi klasik dan model neo-birokrasi yang terlalu memformalkan seluruh kegiatan dalam organisasi pemerintahan. Model hubungan kemanusiaan melihat secara empiris, bahwa ternyata aturan yang terlalu kaku, dapat menimbulkan kebosanan orang (birokrat) bekerja dalam organisasi.

Ciri-ciri model ini, antara lain melihat perlunya diperhatikan; hubungan antarpribadi, dinamika kelompok, komunikasi, sanksi yang tidak perlu merata, pelatihan, motivasi kerja dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, maka nilai yang dimaksimalkan adalah kepuasan kerja, perkembangan pribadi, harga diri individu dalam organisasi pemerintahan. Model ini tetap menganjurkan perlunya pengawasan, namun tidak perlu dilakukan secara ketat dan merata kepada semua anggota organisasi. Hanya mereka yang memerlukan pengawasan adalah yang perlu diberikan. Hal yang paling penting dilakukan adalah memperbaiki sistem organisasi agar tercipta suasana kerja yang memungkinkan anggota organisasi dapat berhubungan secara baik dengan rekan kerjanya agar tercipta suasana yang dapat meningkatkan inovasi aparatur pemerintahan.


Model Hubungan Publik

Tokoh : Ostrom, Buchanan, Olson, Oppenheimer

Model birokrasi pilihan publik merupakan pendekatan yang paling mutakhir dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pendekatan ini masih banyak bersifat teoretis dibanding bukti empiris di lapangan. Resep-resep yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan kebanyakan bersifat ideal, namun bukti penerapannya, masih tergolong langka. Hal ini antara lain disebabkan karena pendekatan ini memang relatif masih muda usianya.

Ciri-cirinya, antara lain; lebih bersifat anti birokratis, berdasar pada distribusi pelayanan, desentralisasi, dan tawar-menawar yang berorientasi kepada klien. Ada berbagai prasyarat yang seharusnya terpenuhi dalam penerapan model ini, antara lain: (1) sistem politik harus dapat menjamin partisipasi dalam mengemukakan pendapat secara objektif dan bertanggung jawab; (2) sistem administrasi pemerintahan yang selalu dinamis, mampu menyesuaikan diri dengan fungsi yang terus berubah; (3) birokrat harus mampu mengoreksi diri sendiri, dan; (4) perlu ada langkah kongkrit yang dapat dilakukan dalam mengefektifkan pemberdayaan masyarakat, antara lain adalah meningkatkan kesadaran kritis dalam hal politik pada berbagai lapisan masyarakat. Langkah ini terlaksana apabila terjadi komunikasi yang “dialogis” antara perumus kebijaksanaan dan masyarakat pengguna pelayanan.

Pada awal masa perkembangannya, Ilmu Administrasi Negara memiliki pandangan dari beberapa ahli Administrasi Negara. Para ahli Ilmu Administrasi Negara menciptakan paradigma yang menjadi ciri Administrasi Negara. Ada 5 paradigma dalam ilmu administrasi negara yang di ungkapkan oleh Nicholas Henry dalam bukunya. Kelima paradigma itu antara lain :
  • Paradigma 1: Dikotomi politik-administrasi (1900-1926). 
  • Paradigma 2: Prinsip - prinsip administrasi negara (1927-1937). 
  • Paradigma 3: Administrasi negara sebagai ilmu politik (1950-1970) 
  • Paradigma 4: Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi (1956-1970). 
  • Paradigma 5: Administrasi negara sebagai administrasi negara (1970 – sampai sekarang).


ABSTRACT

There are four problems to this day why conflict in Papua is never ending and want to liberate themselves. First, the problem of history of Papua’s integration into Indonesia. Secondly, the issue of Human Rights violations in Papua. Third, the problem of not-partake Papuans in Papua’s development, making indigenous Papuans felt excluded. And last, because of the failure of the implementation of Special Autonomy Law issued by the Government as evidence that the Government cares about Papua.

Key words: Papua, The History of Integration, Special Autonomy, Human Rights abuses



PENDAHULUAN

Gerakan separatis di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai Negara yang bisa dibilang ‘muda’ dan pluralistis, gejolak antar daerah bisa mengancam keutuhan negara. Seperti kasus separatisme Aceh dan Papua. Selain akibat rezim Soeharto yang otoriter militeristik, yang membungkam setiap protes, adanya rasa iri daerah tersebut dengan daerah lain yang lebih maju dan lebih sejahtera kehidupan penduduknya.

Pada kasus Aceh, mereka ingin memerdekakan diri karena menganggap Pemerintah menganaktirikan mereka. Pemerintah hanya mengurus Pulau Jawa, sedangkan Aceh hanya dieksploitasi kekayaan alamnya untuk pemerintah pusat, dan tidak ada timbal balik dari pemerintah untuk membangun Aceh. Bukan hanya itu, ketika mereka menyuarakan ketidakadilan itu, mereka justru ditembaki, dianiaya, dan aksi pelanggaran HAM lainnya. Beruntung, setelah rezim Soeharto lengser dan diperbaikinya sistem pemerintahan melalui reformasi di semua bidang, Rakyat Aceh mampu berdialog dengan Pemerintah dan berhasil mecapai kesepakatan damai melalui Perjanjian Helsinki.

Berbeda dengan konflik Aceh, konflik di Papua hingga saat ini belum menemukan titik terang. Padahal Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus untuk Papua dan mengucurkan dana otonomi khusus tersebut sekian miliar. Namun, mengapa konflik di Papua hingga saat ini terus berlanjut dan semakin memanas?

Untuk itu, melalui tulisan ini penulis mencoba menggambarkan titik permasalahan konflik Papua yang selama ini disalahpahami oleh banyak pihak, termasuk pemerintah. Sejauh yang penulis tahu dan baca, pemerintah menganggap masalah konflik Papua hanyalah masalah kesejahteraan. Berbeda dengan pandangan rakyat Papua bahwa titik permasalahannya pada status politik dan integrasi Papua serta masalah pelanggaran HAM yang dilakukan Negara pada penduduk Papua. Tak hanya itu, penulis juga mengkaji kesalahan-kesalahan pemerintah dalam menghadapi konflik Papua.

Penulis berharap, dengan tulisan ini pemerintah mampu bertindak tegas menyelesaikan masalah satu demi satu. Meskipun tidak sampai ke akar permasalahan, setidaknya pemerintah mampu mengambil hati penduduk Papua untuk tetap menjadi bagian wilayah NKRI.


AKAR PERMASALAHAN KONFLIK PAPUA

Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) dalam bukunya: Papua Road Map yang penulis kutip melalui www.pdii.lipi.go.id telah menemukan empat akar masalah Papua, yakni status politik dan sejarah diintegrasikannya Papua ke Indonesia, pelanggaran Ham yang dilakukan Negara selama operasi militer (1965) hingga saat ini, marjinalisasi, dan kegagalan pembangunan Papua. Berikut penjelasan mengapa alasan-alasan tersebut menjadi akar masalah konflik Papua:

1. SEJARAH INTEGRASI PAPUA

Sejak Indonesia merdeka, Irian barat sudah menjadi sengketa Indonesia dengan Belanda. Ketika merdeka, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk Papua adalah wilayah NKRI. Namun, Belanda mengaku bahwa Papua masih dalam wilayah kekuasaannya dan bersikeras tidak akan menyerahkan Papua pada Indonesia.

Melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB), telah disepakati dimana salah satu isinya adalah tentang penyerahan kedaulatan atas seluruh wilayah jajahan Belanda pada Indonesia, kecuali Irian Barat (kabarinews.com). Namun, hal itu tak menyurutkan niat pemerintah Indonesia untuk mengembalikan Papua ke dalam wilayah RI. Sampai akhirnya diadakan perundingan antar keduanya yang menghasilkan New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962. Inti dari perjanjian itu adalah Belanda akan menyerahkan Papua ke UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Kemudian UNTEA akan menyerahkan Papua ke Indonesia selama 6-8 bulan lalu diadakan referendum, bahwa setiap orang dewasa, laki-laki maupun perempuan asli Papua, memiliki hak pilih atas referendum tersebut. Hal ini menentukan apakah Papua akan ikut dengan Indonesia atau lepas dan berdiri sendiri menjadi sebuah Negara.

Namun yang disayangkan oleh warga Papua yang kini menyuarakan ketidakadilan tentang hal itu, bahwa Act of Free Choice atau PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang diadakan pemerintah Indonesia dibawah pengawasan PBB tidak dilaksanankan sesuai aturan Internasional, melainkan dengan aturan Indonesia (Musyawarah). Dalam artikel yang ditulis John Anari, Amd. T yang bersumber dari tokoh sejarah Papua (oppb.webs.com) bahwa ada pelanggaran New York Agreement dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Di sana ditulis bahwa seharusnya jika menurut New York Agreement , PEPERA dilaksanakan dengan cara one man one vote. Tetapi berbeda dengan kenyataan bahwa pelaksanaan dilakukan dengan cara perwakilan (musyawarah).

Pemerintah melakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura tentang tatacara penyelenggaraan PEPERA pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian diputuskan membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1026 orang dari delapan kabupaten di Papua. Para anggota DMP dipilih langsung oleh pemerintah Indonesia tanpa pemilihan umum di tiap-tiap Kabupaten. Tak hanya itu, di sana juga ditulis bahwa ada intimidasi dan ancaman Pembunuhan oleh Pimpinan OPSUS (Badan Inteligen KOSTRAD) Mr. Ali Murtopo.

Fakta lain yang lebih mengejutkan, John Anari menulis bahwa anggota DMP tersebut dikarantina di suatu tempat khusus dan dijaga ketat oleh Militer sehingga mereka tidak bisa berkomunikasi atau dipengaruhi pihak lain. Mereka diberi pengarahan agar secara aklamasi mereka semua memilih bergabung dengan Indonesia. Untuk lebih lengkapnya, silakan baca di oppb.webs.com

Inilah yang membuat Papua ingin PEPERA 1969 kembali diadakan. Mereka merasa suara hati mereka belum diutarakan. Yang memenangkan suara itu bukanlah suara hati rakyat Papua, melainkan suara ancaman militer Indonesia. Namun, menurut Jubir Kementrian Luar Negeri RI, Michael Tene, PEPERA 1969 tidak bisa digugat, bahkan melalui Mahkamah Internasional. Ia mengatakan, Mahkamah Internasional hanya mengurus sengketa antar dua Negara. Meskipun ada Negara lain yang diberi mandat untuk mewakili organisasi OPM maupun ILWP untuk melawan RI, perkara tersebut telah disahkan oleh PBB. (centraldemokrasi.com)

Tak sedikit pengamat politik dan hukum yang mengatakan bahwa inilah akar permasalahan separatisme di Papua. Cara integrasi Papua ke Indonesia sudah salah. Mengandalkan kekuatan militer untuk menekan penduduk Papua agar mau bergabung dengan Indonesia. Memang sulit untuk mengatasi masalah ini, terutama karena Papua kini telah sah menjadi wilayah NKRI. Jika membiarkan dan menuruti keinginan rakyat Papua untuk merdeka, sama saja meruntuhkan keutuhan NKRI sendiri. Kini, yang harus dilakukan pemerintah untuk meredam masalah ini, melakukan pendekatan secara intensif, baik dalam hal perbaikan ekonomi, sosial dan pembangunan di Papua.


2. SIKAP REPRESIF PEMERINTAH TERHADAP RAKYAT PAPUA

Sejak PEPERA 1969 yang menggunakan kekuatan militer dan penuh tekanan-tekanan terhadap rakyat Papua, banyak sekali tindakan represif yang dilakukan Pemerintah Indonesia pada masa itu. Militer menyapu bersih orang-orang yang protes atas pelaksanaan PEPERA 1969 yang membungkam aspirasi orang-orang Papua. Menembaki, menculik, dan membunuh, khas rezim Soeharto.

Tak berhenti sampai situ, bahkan hingga sekarang rakyat Papua masih merasa trauma dengan adanya militer di tanah mereka. Dengan semakin banyaknya militer di tanah mereka, mereka semakin diingatkan pada masa PEPERA dilaksanakan. Mereka terlalu sakit hati terhadap militer Indonesia. Lebih lagi setelah terbunuhnya Ketua Presidium Dewan Papua, Dortheys Hiyo Eluay. Beliau pemuka rakyat Papua yang diculik dan dibunuh akibat menyuarakan ketidakadilan di Papua. Ironisnya lagi, pembunuh Dortheys diberi gelar pahlawan bangsa (centraldemokrasi.com).

Dari data yang penulis peroleh dari artikel Vincentsius Lokobal, sekjend Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, banyak sekali pelanggaran HAM yang dilakukan militer di era Otsus, sekitar tahun 2006-2008, dengan berbagai modus. Berikut uraiannya:
  1. Pembunuhan dan penculikan Bpk. Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka.
  2. Peristiwa Wasior Berdarah 13 Juni 2001. Pada peristiw ini aparat keamanan dari Brimob Kepolisian Daerah Papua telah melakukan penyisiran terhadap warga sipil sehingga banyak yang kehilangan nyawa, keluarga dan tempat tinggalnya.
  3. Berimbas dari pembobolan Gudang Senjata di Kodim 1702 Jayawijaya 4 April 2003 maka aparat keamanan melakukan penyisiran disejumlah kampung di Wamena sampai di kampung Kuyawage. Akibatnya banyak masyarakat menjadi korban.
  4. Peristiwa penyisiran dan operasi Puncak Jaya berdarah pada tahun 2004. Masyarakat meninggal karena ditembak, ada juga meninggal ditempat pengungsian. Banyak masyarakat kehilangan keluarga dan tempat tinggal mereka.
  5. Abepura berdarah 10 Mei 2005, saat masa melakukan aksi untuk dibebaskannya Yusak Pakage dan Philip Karma di depan Pengadilan Negeri Abepura. Sebagai tanggapan atas aksi tersebut, aparat Kepolisian secara paksa membubarkan masa sehingga banyak menjadi korban. Beberapa demonstran disuntik (diduga beracun) pada bagian kepala. Akibatnya sampai saat ini ada yang sarafnya terganggu.
  6. Timika berdarah atas INRES No. 01 thn 2003, tentang Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah membuat masyarakat pro dan kontra (devide et Impera) menewaskan 6 korban warga sipil.
  7. Peristiwa pemukulan oleh Aparat kepolisian Resort Jayawijaya terhadap Obet Kossay di Kampung Wesaput-distrik Wamena Kota pada pertengahan Januari 2006. Korban dipukul di dalam kamarnya setelah pintu di kunci.
  8. Peristiwa penembakan terhadap Moses Douw (meninggal dunia) dan beberapa warga sipil menjadi korban di Wahgete pertengahan Januari 2006.
  9. Penembakan oleh Aparat Kepolisian Resort Mimika terhadap, Yulianus Murip (kena tembakan peluruh pada bagian kepalah), Yohanes Wakerwa (kena tembakan persis dibagian perut) Melianus Murip dan Yohanes Tipagau. Pelurh yang keluarkan 150 buah.
  10. Penangkapan kerja sama antara Aparat keamanan dengan FBI terhadap 12 warga sipil di di Timika pada awal Januari 2006.
  11. Meningalnya Sodema Huby dan Paulus Mokarineak Kosay dan beberapa warga kena luka tembak oleh Aparat Brimob dan Kepolisian Resort Jayawijaya di kediaman mantan Bupati Jayawijaya pada 13-14 Mei 2006.
  12. Meninggalnya Yesaya Hisage karena ditembak oleh Aparat Brimob Kepolisian Daerah Papua pada 18 Maret 2007. Dan penyisiran pasca Abepura Berdarah 16 Maret 2006 dimana Asrama Mahasiswa (Asrama Nayak, Ninming, Nabire, Kerit, asrama mahasiswa Tolikara, Puncak Jaya, Timika, Yahukimo, asrama mahasiswa Universitas Cendrawasih) di hancurkan dan satu perumahan di bakar. Penyisiran difokuskan terhadap Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua sehingga banyak mahasiswa yang lari ke hutan dan tinggalkan asrama/kampus.
  13. Meninggalnya Hardi Sugumol (narapinada kasus mile 62 Timika) di dalam tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada 1 Desember 2006.
  14. Penyisiran dan pembunuhan di Puncak Jaya pasca penembakan anggota Kopasus dan Purnawirawan TNI pada Desember 2006.
  15. Kamis Malam, tanggal 14 Mei beberapa anggota Koramil Kurima menyiksa seorang pemuda; rendam dalam got, ikat kaki dan tangan lapis dengan tiang bendera, membakar dengan lilin pada lida dan kemaluan, jepit dengan tang di jari kaki dan biji kemaluan. Korban di rawat secara itensif di rumah sakit.
  16. Pada hari Kamis 18 July, 300 lebih masyarakat adat dari Kampung Tablasupa, Yaru, Sebron, keracunan makanan yang disiapkan oleh petugas.
  17. 20 July 2007, aparat kepolisian membawa 3 pemuda yang sedang minum-minuman beralkohol dari rumah mereka. Sesampai di polsek mereka melakukan penyiksaan yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 2 lainnya dirawat secara itensif di rumah sakit.
  18. Pada 2 Agustus 2007, penembakan oleh TNI Angkatan Laut terhadap Wemi Gombo. Korban luka kritis pada lengan kiri dan di rawat di RSUD Dok II, Jayapura.
  19. Pada 3 Augutus 2007, Soleman Wandikbo disiksa oleh anggota Polres Jayawijaya sampai meninggal di ruang sel Polres Jayawijaya.
  20. Penembakan terhadap Opinus Tabuni oleh Aparat Keamanan pada 9 Agustus 2008, di Lapangan Sinapup Wamena.
Dari data tersebut, belum termasuk kekerasan terhadap aparat yang dilakukan masyarakat Papua, menunjukkan bahwa sebenarnya pendekatan militer adalah kebijakan yang tidak tepat. Kekerasan yang dibalas kekerasan, membuat gerakan separatisme semakin brutal. Jika dalam rentang waktu tahun 2006-2008 saja sekian puluh rakyat Papua menjadi korban, maka sudah berapa banyak orang yang dikorbankan selama konflik Papua?


3. MARJINALISASI

Sudah sakit karena merasa ditipu dan ditekan pemerintah Indonesia, ditambah aksi kekerasan yang dialami rakyat Papua, diperparah lagi dengan marjinalisasi rakyat Papua di tanah mereka sendiri. Hal ini tentu saja membuat rakyat Papua merasa tersingkir. Terutama setelah dilakukannya Transmigrasi besar-besaran dari Jawa ke Papua pada masa rezim Soeharto. Muncul stigma bahwa pemerintah Indonesia mencoba memusnahkan ras Melanesia dari Papua dan diganti dengan orang-orang Jawa.

Ambil saja contoh unjuk rasa yang dilakukan ribuan karyawan PT Freeport yang semuanya merupakan penduduk asli Papua. Mereka menuntut ketidakadilan upah yang mereka terima dibandingkan upah karyawan lain yang berasal dari luar Papua (fajar.co.id). Papua memang terbelakang dalam kesejahteraan. Pendidikan, kesehatan, bisa dikatakan buruk. Secara logika, tidak ada perusahaan yang mau menerima kondisi karyawan yang seperti itu. Disitulah Papua terdiskriminasi oleh struktur.

Pengambilan setiap kebijakan Pemerintah terhadap Papua juga dianggap tidak pernah melibatkan penduduk asli Papua. Sebagai contoh, dikeluarkannya UU (Undang-undang) No 45/99 tentang pemekaran Irian Jaya (Sekarang Papua) menjadi Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Mimika dan Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kebijakan ini diikuti dengan penunjukan Dokter Herman Monim sebagai Gubernur Irian Jaya Tengah dan Brigjen.Mar. (Pensiunan TNI) Abraham Atuturi sebagai Gubernur Irian Jaya Barat berdasarkan Keputusan Presiden RI No 327/M/1999, tanggal 5 Oktober 1999. Kebijakan ini ditolak rakyat Papua karena mereka merasa tak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut (library.fes.de).

Telatnya pembangunan segala bidang di Papua, membuat Papua terlihat primitif, terbelakang dan bodoh. Walau begitu, tidak seharusnya kita selalu mendoktrin semua penduduk Papua seperti itu. Perlu pendekatan dan motivasi-motivasi agar mereka mau bergerak bersama Pemerintah agar pembangunan berjalan segera dan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan motivasi dan dorongan untuk ikut membangun Papua bersama pemerintah, rakyat Papua bisa tergugah hatinya dan tidak terus-terusan menjadi oposisi pemerintah.

Pemerintah juga perlu menyadari bahwa Indonesia adalah pluralisik. Tidak semua kebudayaan memiliki kesamaan antara satu tempat dengan tempat lainnya. Papua terbiasa dengan segala keputusan yang diambil pemimpin dibicarakan masak-masak bersama anggotanya. Jangan keras kepala dibalas keras kepala. Hal itu justru membuat Papua yakin akan keinginannya untuk merdeka dan berdiri sendiri.


4. IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS PAPUA

Menanggapi berbagai tuntutan rakyat Papua, akhirnya pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dikeluarkanlah UU No.21 Tahun 2001, yang diharapkan mampu menjawab sedikit demi sedikit permasalahan di Papua. Undang-undang tersebut mengenai Otonomi Khusus bagi Papua sebagai kebijakan nasional. Otonomi Khusus identik dengan penyerahan semua kewenangan pemerintah pusat terhadap rakyat Papua, keuali 5 bidang pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintahan Pusat (Pasal 4 ayat (1), UU No.21 Tahun 2001).

Menurut Yusuf Tri Anggoro dalam blognya par-excelence.blogspot.com, secara garis besar, terdapat 4 hal mendasar yang diatur dalam UU No.21 tahun 2001 tersebut, yaitu:


Pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan.
Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar.
Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan bercirikan:
  1. Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama dan kaum perempuan.
  2. Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya.
  3. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
  4. Pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Melihat bagusnya maksud pemerintah untuk memperbaiki kehidupan di Papua, ternyata tidak dibarengi dengan implementasi yang memuaskan. Dari hasil analisis sekaligus pengumpulan data tentang bagaimana implementasi UU No.21 Tahun 2001 yang dilakukan oleh Vincentsius Lokobal, menunjukkan fakta-fakta bahwa banyak pelanggaran yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah dalam mengimplementasikan UU tersebut. Berikut data dari Lokobal:

PEMERINTAH PUSAT
  1. Tertundahnya pembentukan Lembaga Majelis Rakyat Papua ( MRP ), sebagaiman diamanatkan oleh UU Otsus selambat – selambatnya 6 ( enam ) bulan UU Otsus ditetapkan, sementara PP No. 54 tentang Pembentukan MRP baru dikeluarkan 23 Desember 2004. 
  2. Inpres No. 1/Tahun 2003 ( tanggal : 27 Januari 2003 ) ditetapkan dan terbitkan oleh Presiden sebagai perintah untuk menghidupkan Provinsi Irian Jaya Barat, walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU No.21 Tahun 2001, dengan tujuan untuk mengobrak – abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental dalam hati rakyat Papua. 
  3. Pemerintah Pusat lalai dan gagal melaksanakan keputusan Mahkama Konstitusi ( MK ) tahun 2003, yang mewajibkan diterbitkannya undang – undang tentang pemekaran tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat ( sekarang Papua Barat ), yang paksakan pembentukannya oleh Pemerintah Pusat.
  4. Penetapan Undang – undang No 35 Tahun 2008, dalam rangka mengakomodir Provinsi Papua Barat dalam UU No.21 Tahuin 2001, sebagai Provinsi dalam Otsus dengan cara mencoret dan menambahkan. Cara mengakomodir dengan moncoret dan menambah tersebut melanggar UU No.21 Tahun 2001 kepada rakyat Asli Papua. MRP sudah mengingatkan Wapres Jusup Kalla dan timnya tetapi nyatanya tidak diindahkan.
  5. Diberlakukan dualisme hukum antara Provinsi dan Kab/Kota di daerah Otonomi khusus di Tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sedangkan Kab/Kota melaksanakan UU No.32 Tahun 2004.
  6. Tidak menerbitkan segera beberapa Peraturan Pemerintah ( PP ) yang amanatkan didalam UU No.21 Tahun 2001, sebagai pelaksanaan UU Otsus bagi Provinsi Papua.
  7. Pencairan DANA OTSUS tiap tahun anggaran hamper selalu sebagian besar dana pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dimanfaatkan secara efektif untuk menolong dan menyelamtkan orang asli Papua, selain dibagi – bagi dengan laporan keuangan fiktif.
  8. Tidak ada realisasi atas pembagian hasil SDA Papua untuk Papua dan Jakarta sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UU No.21 tahun 2001.
  9. Penetapan PP No.77 tahun 2007 tentang larangan Bendera separatis dijadikan sebagai bendera cultural. Ini bertentangan dengan amanat UU No.21 Tahun 2001, khususnya Pasal 2 ayat (2).
  10. Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan Barisan Merah Putih di Tanah Papua dan kegiatannya, sehingga lembaga Negara di daerah seperti DPRP dan MRP keberadaan dan kegiatannya terganggu serta kebijakannya dikontrol dan dikaunter oleh masyarakat, bukan oleh lembaga Negara yang Lebih tinggi.
  11. Penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi Otonomi Khusus Papua versus penerimaan usul Barisan Merah Putih atas 11 kursi Otsus yang sama oleh Mahkama Konstitusi ( MK ) dengan mengkerdilkan lembaga MRP dan DPRP dalam materi gugatannya. Hal ini menunjukan sikap Pemerintah Pusat terhadap lembaga didaerah tidak diperhatikan dari pada organisasi ( milisi ) yang dibentuknya.
  12. Politisasi SK.14/MRP/2009 sehingga SK yang bertolak dari amanat UU No.21 Tahun 2001 menjadi bola liar yang panas di permainkan oleh siapa saja dari pusat dengan daerah. Sampai sekarang SK 14/MRP/2009 ditanggapi Pemerintah Pusat penuh curiga dan pemerintah daerah tidak sepenuh hati. Karena itu nasib SK 14/MRP/2009 sampai saat ini nampaknya terancam tidak digunakan dalam pemilukada Kab/Kota di Tanah Papua.
  13. Dalam implementasi UU Otsus Papua, Pemerintah Pusat lalai melakukan fungsi supervise ( Bimbingan ) dan Intermediasi ( koordinasi antar institute ) bagi Pemerintah Provinsi Papua dalam pelaksanaan UU Otsus Papua.
  14. Pengangkatan Kapolda dan Kajati setelah diberlakukan UU Otsus Papua, Pemerintah pusat tidak pernah memintah persetujuan dari Gubernur Papua, berdasarkan amanat UU Otsus Papua Pasal 48 ayat (5), Pasal 52 ayat (2).
  15. Pemerintah Pusat Gagal melakukan perubahan terhadap UU Otsus Papua, dengan mengeluarkan UU No.35 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU Otsus Papua, tanpa meminta persetujuan oleh seluruh rakyat Papua melalui DPRP dan MRP.
  16. Pemerintah Pusat mendorong dan menetapkan terbentuknya pemekaran daerah Otonom Baru Provinsi dan Kab/Kota di Tanah Papua yang semestinya dilakukan melalui persetujuan MRP dan DPRP, berdasarkan amanat UU Otsus pada Pasal 76.
  17. Bidang Keuangan pemerintah Pusat tidak pernah transparan dalam hal pembagian pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam, sesuai amanat UU Otsus Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3).
  18. Sepuluh tahun di berlakukan UU Otsus di Tanah Papua, Pemerintah Pusat dan Daerah tidak pernah melakukan evaluasi, sesuai amanat UU Otsus pada Pasal 78.
  19. Implementasi penerapan UU Otsus ini tidak dikawal oleh Presiden maupun oleh Menteri.
  20. Segala bentuk kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, tak pernah melibatkan rakyat Papua.
  21. Pemerintah pusat tak pernah sosialisasi UU Otsus Papua pada tingkat internl Departemen Pusat maupun Daerah.
  22. Pemerintah Pusat tak pernah membuat norma – norma pengelolaan anggaran.

PEMERINTAH DAERAH (PROPINSI)
  1. Pemerintah Provinsi dan DPRP tidak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus selama 7 Tahun Pelaksanaan Otsus Papua, kecuali Perdasi pembagian Dana Otsus, Pembentukan MRP dan Sekretariat MRP dan Perdasus pembagian dana Dana Otsus ( yang tidak berfungsi sejak ditetapkan oleh DPRP ). Baru tahun 7 pelaksanaan Otsus ditetapkan 8 Perdasus pada September, Oktober, dan November tahun 2008 dan sejumlah Perdasi namun semua perdasi dan perdasus tersebut belum dipergunakan dalam pengelolaan pemerintahan dan pembagunan, sesuai amanat Otsus pada Pasal 75.
  2. Tidak terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) dan pengadilan HAM di Tanah Papua sesuai amanat UU No. 21 Tahun 2001 Pasal 45 dan 46 pemerintah belum menyentuhnya.
  3. Belum ditetapkan kebijakan khusus dalam rangka melaksanakan kewenangan khusud untuk kepebrpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua, sebagaiman yang diamanatkan dalam pasal 4 ( ayat 2 ), UU No. 21 Tahun 2001.
  4. Pemerintah Provinsi lalai membentuk Komisi hukum Ad Hock, yang bertugas melakukan sinkronisasi semua peraturan perundangan harus menyesuaikan dengan UU Otsus, sesuai pasal 32 ayat (1) dan ( 2).
  5. Pemerintah Provinsi lalai membentuk partai politik Lokal, sesuai pasal 28 UU Otsus Papua.
  6. Pemerintah daerah lalai membentuk perdasus tentang lambing dan symbol – symbol cultural, pada pasal 2 UU Otsus.
  7. Perubahan nomenkaltur DPRD menjadi DPRP sesuai amanat UU Otsus, abru terjadi pada tanggal 22 Juni 2005 yang diputuskan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Papua No.08/2005, berdasarkan persetujuan Mendagri berdasarkan surat edaran Mendagri No. 161.81/1034/SG, tanggal 3 Mei 2005.
  8. Pemerintah Provinsi gagal membentuk Peradilan Adat di Papua, Pasal 50 ayat (2).
  9. Pembentukan Majelis Rakyat Papua, baru dapat dilakukan berdasarkan keputusan DPRP, melalui perdasi No.4 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP, yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juli 2005.
  10. Pemerintah Provinsi gagal membentuk perdasi tentang Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua, sesuai pasal 61, ayat (1) UU Otsus Papua. Malahan, Pemerintah Provinsi Papua Barat melakukan kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait penempatan transmigrasi ( Rabu, 10 Februari 2010 vivanews).
  11. Pemerintah Provinsi lalai membina, melindungi hak – hak masyarakat Papua secara bermartabat sebagai mitra Pemerintah, sesuai Pasal 47.
  12. Pemerintah provinsi Papua gagal bahkan tidak melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi UU Otsus Papua selama kurang lebih 10 tahun ini.
  13. Rekruitmen calon Pengawai Negeri Sipil di Provinsi dan Kab/Kota belum di prioritaskan terhadap orang Asli Papua, sebagaiman diamanatkan dalm Pasal 62, UU Otsus Papua, tetapi semakin dibanjiri dan penuhi oleh orang – orang non Papua yang tidak jelas latar belakang hidupnya. Orang Papua sendiri tersingkir diatas kampong dan tanah warisan leluhurnya sendiri.
  14. Pemerintah Provinsi gagal dan lalai melakukan perlindungan terhadap pelaku bisnis orang Asli Papua sesuai mandate Otsus Papua.
  15. Pemerintah Provinsi tidak melakukan Restrukturisasi, Refungsionalisasi, dan Revitalisasi sesuai UU Otsus Papua.
  16. Pemerintah Provinsi melakukan manajemen Pemerintahan yang tidak optimal dalam ( Kepemimpinan, Perencanaan, Implementasi )
Melihat kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah (baik pusat maupun daerah) gagal dalam melaksanakan UU No. 21 Tahun 2001. Pelaksanaannya dalam 10 tahun ini dianggap tidak mampu mengubah kehidupan Papua secara berarti. Dana Otsus yang selama ini dikucurkan bermilyar-milyar hanya sebagai substansi Otsus, bukan dipakai sebagaimana sudah diatur selanjutnya di perdasus dan perdasi. Untuk itu perlu ada gerakan bersama antara pemerintah pusat dengan daerah beserta rakyat Papua agar Otonomi Khusus tersebut berjalan sukses.



PENUTUP

Dari penjelasan tentang apa yang membuat gerakan separatisme di Papua awet dan semakin brutal, dapat diambil kesimpulan bahwa yang mendasari konflik papua belum berakhir ada empat, yakni:
  • Masalah sejarah integrasi politik Papua ke Indonesia.
  • Bahwa sejarah Integrasi Papua ke Indonesia dilakukan tidak secara sukarela penduduk asli Papua, melainkan dari tekanan pihak militer Indonesia yang memaksa orang-orang Papua yang tergabung dalam Dewan Musyawarah PEPERA untuk memilih bergabung ke dalam wilayah NKRI.
  • Masalah pelanggaran HAM yang dilakukan Negara selama konflik Papua berlangsung.
  • Masalah marjinalisasi, akibat terbelakangnya segala aspek kehidupan rakyat asli Papua dibandingkan rakyat luar Papua membuat rakyat Papua merasa tersisih
  • Masalah gagalnya implementasi UU OTSUS Papua. Bahwa pemerintah pusat maupun daerah tidak bersungguh-sungguh menyejahterakan kehidupan rakyat Papua.
Untuk menindaklanjuti konflik Papua yang belum menemukan titik terang penyelesaiannya, perlu diadakan dialog Jakarta-Papua. Pemerintah harus berdialog langsung dengan rakyat Papua dan menanyakan alternative apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengambil hati rakyat Papua. Dengan catatan, keputusan atau keinginan itu tidak merugikan Negara ataupun mengancam keutuhan wilayah NKRI.



DAFTAR PUSTAKA

Assalamu'alaikum, fellas!
Jam masih menunjukkan pukul 7:42 WIB. Aku baru saja menyelesaikan tugas pagiku bersama ibuku: belanja, memasak dan mencuci. Setelah selesai, aku masuk ke kamar dan memeriksa ponselku. Ada satu pesan masuk. Dari Bapak.


Apa sih administrasi negara itu? Apakah tentang menghitung? Apakah tentang TU yang biasa kita lihat sehari-hari? Atau yang lain?


Assalamu'alaikum,
Terima kasih karena mau mengintip blog ini dan postingannya yang semoga dan In shaa Allah bermanfaat. Yah, meskipun sebenarnya ini postingan pertama dan belum memberi nilai apapun pada kebermanfaatan blog ini.
Satu hal yang perlu kalian ketahui, aku suka menulis.
Meski tulisanku bukan tulisan yang menarik bagi sebagian orang, tetapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku memiliki passion dalam bidang ini. Aku belum belajar banyak tentang menulis karena ........... aku menahan diriku untuk tidak menulis untuk sekian lama meskipun aku ingin. Aku akan menceritakannya di lain waktu, yang jelas itu menghalangiku untuk mengembangkan passionku.
Yah, aku tidak cukup berani untuk melawan.
Ditambah lagi beberapa faktor yang membuatku jarang menulis lagi. Sebut saja MALAS dan alasan kesibukan lainnya.
Yah, seharusnya itu tidak menghalangiku jika memang ini passion ku.

Ada satu hal yang mendorongku untuk menulis:
Aku percaya bahwa dengan menulis akan tetap membuatku hidup dan tidak kehilangan satu memori apapun dalam hidupku. Meski mungkin aku tidak dikenal banyak orang, tapi aku berharap dengan tulisanku orang tetap mengenangku meski aku tidak ada. Dan dengan tulisan, aku bisa membuat sejarah hidupku sendiri yang akan dikenang orang-orang di sekitarku.

Aku bukan tipe orang 'pembicara' tetapi 'penulis'.
Itu lebih menolongku dengan segala messy thought and messy feeling yang selalu datang dalam hidupku. Sebagian memang tidak memandangnya penting, tetapi tetap saja itu sejarahku, sejarah hidupku sendiri.

Blog ini sudah seperti buku jurnal, buku diari dan buku pelajaran buat ku.
Aku berharap dengan segala ketidakpentingan tulisan yang aku tulis, kalian bisa mengambil nilai dan pelajaran.

From your new acquaintance,
Anaros.